DEMOKRASI KITA: UTUH YANG RETAK, MANDIRI YANG DIPINJAM, KAYA YANG TAK TERASA
Oleh: Aendra Medita*)
Indonesia selalu disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sebuah klaim yang terasa membanggakan—namun menjadi sunyi maknanya ketika ditanya kembali: apa yang benar-benar dirasakan rakyat?
Demokrasi kita memang berjalan. Ada pemilu, ada partai, ada kebebasan berpendapat. Tapi yang luput dijawab: apakah suara rakyat sungguh didengar?
Apakah pilihan politik rakyat berdampak pada kebijakan hidup sehari-hari mereka?
Apakah demokrasi yang dibangun dengan susah payah ini membuat bangsa ini utuh, mandiri, dan kaya bersama?
Kaca Mata Retak Demokrasi
Dalam kacamata komunikasi politik, demokrasi bukan hanya soal ritual elektoral, tetapi juga bagaimana kekuasaan dikomunikasikan, dimaknai, dan diterima secara adil oleh rakyat. Namun, realitasnya: komunikasi politik kita penuh gimick dan pencitraan.
Rakyat hanya jadi objek komunikasi politik, bukan subjek dialog.
Oligarki bermain di belakang panggung, mengendalikan narasi publik lewat media dan buzzer. Dalam perspektif ini, demokrasi Indonesia adalah panggung komunikasi tanpa substansi. Ia utuh secara prosedur, tapi retak secara makna.
Apa artinya pemilu bebas jika hasilnya adalah kooptasi elite?
Apa arti “suara rakyat” jika yang menang bukan ide, melainkan dana kampanye?
Kemandirian yang Dipinjam
Dalam narasi komunikasi politik yang sehat, sebuah bangsa yang “mandiri” seharusnya bisa menyampaikan kehendaknya kepada dunia dengan posisi bermartabat dan bermakna.
Tapi kita masih sering meminjam bahasa dan gagasan orang lain. Ekonomi kita lebih banyak menyuarakan narasi global, bukan narasi rakyat.
Kebijakan publik sering mengikuti arus pasar dan investor, bukan aspirasi warga desa atau pelaku lokal. Kemandirian bukanlah jargon.
Ia adalah keberanian berkata: “Ini cara kami hidup, ini cara kami membangun.”
Sayangnya, dalam praktik politik saat ini, kemandirian hanya jadi retorika pidato kenegaraan, bukan strategi komunikasi yang membumi.
Kaya, Tapi Tak Terasa Rakyat
Indonesia kaya secara potensi, tapi miskin dalam pembagian. Kekayaan alam tak menjadi kesejahteraan umum, karena komunikasi pembangunan pun lebih sering dikooptasi oleh kekuasaan dan kepentingan investor.
Di era komunikasi digital, data dan narasi adalah harta baru. Tapi data kita dikendalikan asing, narasi kita dikendalikan elite. Di sinilah letak pentingnya komunikasi politik yang membebaskan, bukan membius.
Menuju Komunikasi Politik yang Membebaskan
Kacamata saya sebagai jurnalis dan praktisi komunikasi melihat bahwa harapan perubahan bukan pada sistem saja, tetapi pada bagaimana kita bicara, menyampaikan, dan menghidupkan kesadaran bersama.
Kita butuh politik komunikasi yang partisipatif, bukan manipulatif. Kita harus membangun jurnalisme yang membebaskan, bukan sekadar menjadi corong kekuasaan. Kita perlu pendidikan komunikasi publik, agar rakyat tidak hanya “dihibur” tapi diberdayakan.
Akhirya saya sampiakna Indonesia tidak kekurangan potensi. Yang kita kekurangan adalah kejujuran dalam menyampaikan dan mendengar, baik dari elite maupun dari rakyat sendiri.
Komunikasi politik harus menjadi jalan tengah antara kekuasaan dan rakyat, bukan alat mempertahankan dominasi. Indonesia bisa menjadi utuh, mandiri, dan kaya, bila kita mulai membangun komunikasi politik yang jujur, adil, dan berpihak pada nurani rakyat. Mungkin ini adalah bentuk kegelisahan saya tapi juga sekaligus sebagai seruan, agar demokrasi kita jangan hanya berhenti di suara, tapi hidup dalam makna. Tabik..!!
*) Jurnalis & Analis pada Pusat Kajian Komunikasi Politik Indoneisa (PKKPI)