Narasi besar “budayakan Membaca” kalimat yg menjadi slogan ini seringkali kita dengar di ucapkan baik oleh cendikia, menteri pendidikan, budayawan khususnya oleh para gurul/pendidik.
Namun belakangan ini jika kita perhatikan slogan tersebut seolah hanya sebuah kalimat tanpa makna, artinya budaya atau minat membaca mengalami degradasi. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi digital yang ajak memudahkan kita untuk mengakses segala yang kita butuhkan secara instan.
Alhasil semakin menurunlah ghiroh untuk membaca. Sehingga Para pengamat politik dan pendidikan memberikan penilaian bhw IQ bangsa ini mengalami defisit drastis hingga 73% dibawah standar IQ nasional. Ini problem bangsa yang sangat memprihatinkan.
Sangat perlu bagi pemerintah khususnya kementrian pendidikan agar kita tidak menjadi bangsa yang terbelakang dari segala aspek. Dan membaca bukanlah semata sebuah keharusan, lebih dari itu membaca itu sbuah kewajiban.
Bagi kaum muslim coba kita perhatikan dari ayat yg pertama diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yaitu surat Al-Alaq yang berbunyi “IQRO” (bacalah). Dalam ilmu shorof kata “iqro” berasal dari kata dasarnya “Qoro’a-Yaqri’u artinya (membaca). Nah kata iqro ini bentuknya kata perintah artinya (bacalah).
Jadi jika iqro ini kata perintah berarti membaca dihukumi wajib. Disini Tuhan telah memberikan isyarat bahwa denga membaca kita sekalian tidak menjadi dhulmun (gelap, bodoh).
Dampak positif dari kebiasaan membaca membuat otak kita menjadi mengerti dan faham terhadap suatu keadaan dan peristiwa yang dihadapi sehingga terhindar dari kebodohan dan kedunguan. Membaca adalah (babul ulum) pintunya ilmu, dan ilmu sendri adalah cahaya.
Lalu bagaimana mungkin kita akan mendapatkan cahaya pengetahuan,cahaya kebenaran tetapi hilang hasrat & ghiroh untuk membaca?
Dalam surat Al-Alaq yang berbunyi Iqro bahwasannya membaca bukan saja membaca dengan lisan dan pikiran, tetapi juga membaca dengan hati. Keduanya sangatlah koheren tidak bisa dipisahkan. Seolah perintah bacalah itu, artinya bacalah dengan akal/pikirmu agar kamu terang mengerti dan faham (tidak bodoh).
Dan bacalah dengan hati agar tumbuh kesadaran dan empati dalam menyikapi suatu peristiwa yang dihadapi. Mungkin kita semua mafhum bahwa Hilangnya budaya membaca disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pengaruh teknologi, kurangnya minat dan motivasi, serta lingkungan yang kurang mendukung.
Perkembangan teknologi digital, seperti media sosial dan video game, telah mengalihkan perhatian banyak orang dari membaca buku. Selain itu, kurangnya minat baca, terutama di kalangan remaja, juga menjadi faktor penting. Lingkungan keluarga dan sekolah yang kurang mendorong kebiasaan membaca juga berkontribusi terhadap penurunan minat baca.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya budaya membaca:
Pengaruh Teknologi: Media sosial, video game, dan konten digital lainnya menjadi sumber hiburan yang lebih menarik dan mudah diakses dibandingkan membaca buku.
Kurangnya Minat dan Motivasi: Banyak orang, terutama generasi muda, merasa membaca itu membosankan atau tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Lingkungan yang Tidak Mendukung: Lingkungan keluarga dan sekolah yang tidak menyediakan akses mudah ke buku, atau tidak mendorong kebiasaan membaca, dapat menghambat perkembangan minat baca.
Kurangnya Peran Orang Tua: Orang tua yang kurang memberikan contoh membaca atau tidak membiasakan anak-anak membaca sejak dini, dapat mempengaruhi minat baca anak di kemudian hari.
Sistem Pendidikan: Sistem pendidikan yang terlalu menekankan hafalan dan kurang memberikan ruang untuk eksplorasi dan kesenangan dalam membaca juga dapat menjadi penyebab.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat, untuk menumbuhkan kembali minat baca dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membaca.***
