Pasar Cihaurgeulis: Penampungan Sampah yang Tak tuntas-tuntas
BandungEdun.com — Kota Bandung dikenal sebagai kota kreatif, kota juara, dan kota manusiawi. Tapi satu sudut kota ini menyimpan luka yang belum sembuh—Pasar Cihaurgeulis. Sudah delapan tahun para pedagang dipaksa hidup dalam penampungan sementara yang kondisinya kian menyedihkan.

Bukan lagi tempat berdagang, tapi seperti tempat pembuangan akhir yang disulap jadi lokasi ekonomi darurat. “Kami ini seperti dikandangkan, digantung tanpa kepastian. Mana ada penampungan delapan tahun? Itu bukan penampungan, itu penelantaran,” kata Bu salah satu, pedagang sayur yang tak mau disebutkan namanya -yang sejak 2016 bertahan di tengah becek dan bau sampah.

Penampungan yang dibangun katanya sementara, justru menjelma seperti kamp pengungsian permanen. Lapak-lapak sempit, air tergenang, dan tumpukan sampah jadi pemandangan sehari-hari.
Di mana letak keadilan kota ini? “Setiap tahun kami dijanjikan pasar permanen. Tapi yang datang cuma petugas pungutan dan surat edaran. Pasarnya mana?” ujar Kang Dandi Sobandi kordinator Pedagang Cihaurgeulis.
Ironi makin terasa saat kita melihat proyek-proyek estetik di pusat kota: taman-taman dibangun, mural dicat ulang, bahkan jembatan pun dihias warna-warni. Tapi pasar tradisional—jantung ekonomi rakyat kecil—ditinggalkan seperti bangkai sejarah. Padahal, jika mau jujur, Pasar Cihaurgeulis adalah denyut ekonomi kawasan Bandung. “Intinya kami ingin segaera terealisasi pemindahan dan sampah segera diangkut,” kata Kang Dandi Sobandi lagi.
Dari sini berputar roda rezeki ratusan keluarga. Tapi alih-alih dirawat, pasar ini seperti dikubur hidup-hidup dalam kelambanan birokrasi. “Kami sudah capek rapat-rapat, dengar janji, ikut pendataan. Kami butuh tindakan, bukan lagi obral rencana,” kata pedanag lainnua, yang kini hanya buka lapak dua hari seminggu karena kondisi yang tak memungkinkan berdagang rutin.
Kota Manusiawi Harus Menyentuh Rakyat Bawah Jika Bandung masih ingin disebut kota kreatif dan inklusif, maka ciuman pertama harus diberikan pada rakyat kecil, bukan pada investor atau turis. Penataan kota yang abai pada pasar tradisional adalah penataan yang timpang, tak berkeadilan. Pasar bukan cuma ruang jual beli. Ia adalah ruang sosial, budaya, dan ekonomi rakyat.
Menelantarkan pasar sama dengan menelantarkan martabat warga. WaliKota, wakil Walikota Dewan, dan Dinas terkait harus segera menjawab ini. Bukan dengan retorika atau janji manis, tapi dengan langkah konkret dan tenggat waktu jelas.
Bandung tidak akan benar-benar juara jika Cihaurgeulis terus dalam status penampungan abadi. Sudah cukup luka, cukup derita, cukup janji. Yang dibutuhkan hari ini adalah: Segera bangun pasar permanen, Revitalisasi penampungan jika relokasi belum bisa dilakukan, Libatkan pedagang dalam proses, Atasi persoalan sampah dan sanitasi Karena kalau tidak, kelak sejarah akan mencatat: ada satu pasar rakyat di Bandung yang dibiarkan membusuk oleh mereka yang pernah bersumpah untuk melindungi warganya.
Roni/BandungEdun.com
