Peresensi Aendra Medita*)
Albert Kuhon menyuarakan Jurnalisme sebagai Amanat Nurani dan ia mengumpulkan lahir dari ruang-ruang batin sebanyak 23 wartawan yang pernah mencicipi suka dan duka menjadi bagian dari Kompas, salah satu koran paling berpengaruh di Indonesia.
Buku yang diterbitkan Kosakata Kita (KKK) Terbit Juni 2025 dengan tebal halaman: 514 yang disponsori Djarum Foundation ini menyuarakan Jurnalisme sebagai Amanat Nurani Buku ini tak lahir dari ruang kosong.
Buku ini dieditor Albert Kuhon merangkum pengalaman mereka sebagai kesaksian personal atas bagaimana jurnalisme dijalankan dengan prinsip dan nurani. Sejak awal, judulnya sudah menjanjikan sesuatu yang mendalam — bukan sekadar testimoni, tetapi kesaksian. Dalam tradisi bahasa Indonesia, kata “kesaksian” punya makna yang berat dan religius: sesuatu yang dilihat, dialami, dan harus dikatakan dengan jujur meski pahit. Dan memang, buku ini membawa kita pada ruang-ruang sunyi di balik berita utama — ruang yang sering luput dilihat pembaca.
Buku ‘Kesaksian 23 wartawan Kompas’ bukan tulisan yang bersifat ilmiah atau merupakan analisis atau peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. ‘Kesaksian 23 wartawan Kompas’ adalah bukan fiksi, romansa maupun prosa. Sama sekali tidak diboboti oleh keberpihakan kepada siapa pun, tidak berkibat pada aliran politik atau idealisme mana pun. Seluruh tulisan dalam buku ini merupakan catatan pribadi wartawan yang sebagian besat tidak pernah dipublikasikan dl media masa, demikian tulisan pengantar Kuhun, (hal v)
Menjadi Wartawan Bukan Sekadar Profesi Setiap wartawan dalam buku ini menulis dari posisi mereka sendiri: ada yang pernah menjadi reporter perang, penulis seni-budaya, wartawan investigasi, hingga pengamat sosial. Kita diajak menyelami dunia mereka: dunia yang penuh tekanan, godaan, kadang juga kekecewaan, tapi tetap dijalani karena panggilan hati.
Ada cerita tentang bagaimana wartawan harus menahan air mata saat meliput bencana, bagaimana mereka bergulat dengan dilema antara mengabarkan dan menjaga etika, dan bagaimana tekanan dari kekuasaan seringkali hadir dalam bentuk yang halus tapi mencengkeram. Ada juga yang menjadikan perjuangan antara kerja dan anak istri dan keluarga.
Menjadi wartawan, terutama di Kompas — yang sejak lama membawa slogan “Amanat Hati Nurani Rakyat” — bukanlah perkara teknis semata. Ia adalah misi moral. Sentuhan Empati Sebagai editor, memang tidak mendominasi buku ini. Ia justru memberi ruang seluas-luasnya bagi para penulis untuk bicara dengan suara mereka sendiri.
Yang menarik buku ini bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap semua itu. Refleksi atas Dunia Pers Kini Kesaksian 23 Wartawan Kompas muncul di tengah guncangnya dunia pers. Tapi juga tepatnya Kompas 60 tahun.
Kita menyaksikan media besar -media besar yang makin kehilangan roh idealismenya, lebih sibuk mengejar trafik dan rating. Wartawan muda sering kali hanya dijadikan operator berita, bukan pelaku intelektual. Di tengah situasi ini, buku ini terasa seperti alarm — bahwa jurnalisme pernah (dan seharusnya tetap) dijalankan dengan martabat.
Buku ini juga memperlihatkan satu hal penting: bahwa jurnalisme bukan soal “mendapatkan berita”, tapi membentuk empati.
Para wartawan ini menulis dengan jujur — bahwa mereka pun pernah takut, ragu, marah, bahkan ingin menyerah. Tapi pada akhirnya mereka tetap menulis, karena itulah satu-satunya jalan yang mereka percayai. Kelebihan dan Kekurangan Kelebihan utama dari buku ini adalah kejujuran dan keberagaman suara. Kita tidak hanya mendengar kisah sukses, tapi juga pergulatan, frustrasi, dan kritik internal.
Ada penyataan wartawan Legend Jus Soema di Prada bahwa Jus marah dan mundur dari Kompas alasannya karena Jacob Oetama mendatangani pernyataan dan minta maaf kepada Presiden Soeharto alias mengalah pada tekanan pemerintah Orde Baru.
Dalam surat pengunduran dirinya tanggal 13 Februari 1978, kepada Pemimpin Redaksi Jakob Oetama, Jus menyatakan kekecewaannya karena Kompas diizinkan terbit kembali setelah para pemimpin redaksi, termasuk Jakob Oetama, menandatangani pernyataan yang mengurangi kemerdekaan pers. Ia menilai tindakan tersebut telah melemahkan landasan Kompas sebagai media bebas dan bertanggung jawab. Sebuah Keputusan Berani di Era Orde Baru, Keputusan Jus untuk mengundurkan diri bukanlah sesuatu yang mudah.
Pada masa Orde Baru, kebebasan pers sangat terbatas. Banyak media dibredel, dan jurnalis yang berani menentang pemerintah sering mendapat tekanan.
“Mengundurkan diri dari koran sebesar Kompas, apalagi dengan menyatakan berhenti menulis dan tidak memiliki penghasilan tetap, membutuhkan nyali yang besar,”ungkap Jus disambutan peluncuran buku ini di Bintaro (26/6), bisa kita temukan di hal 277. dan kisah Jus ini ada dalam buku biografi berjudul “Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis Pembakar Semangat”, karya Aendra Medita. Buku setebal 127 halaman ini mengungkap perjalanan hidup Jus, dengan fokus utama pada pengunduran dirinya dari Kompas.
Sebelum bergabung dengan Kompas, Jus telah berpengalaman sebagai wartawan di Harian Indonesia Raya di bawah kepemimpinan Mochtar Lubis dan Engka Bahauddin.
Kembali ke buku Kuhon hanya menjahit benang merahnya: bahwa semua kisah ini, meski berbeda konteks dan masa, tetap bertumpu pada nilai dasar jurnalisme: kejujuran, keberanian, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Melalui pengantarnya, Kuhon juga mengajak kita menengok kembali bagaimana posisi wartawan kini makin terhimpit — oleh algoritma media sosial, tekanan kapitalisme media, dan krisis kepercayaan publik.
Ada kisah “PW: Buntuti Bung Karno ke Puncak” yang ini tampaknya adalah semacam kenangan pribadi (Piet Warbung) tentang yang bekerja di Desk Luar Negeri Harian Kompas pada awal 1980-an. Piet Warbung jumpa Kuhon pada awal 1980-an di Redaksi Harian Kompas. Piet dikenal sebagai pribadi yang selalu tersenyum dan sering mendengarkan radio transistor, mengikuti siaran luar negeri seperti Voice of America, BBC, dan lainnya. Pada 1982, penulis pernah ditempatkan di Desk Luar Negeri dan sering ditugasi oleh editor senior seperti Agust Parengkuan, Robby Sugiantoro, dan J. Warbung. Piet lahir di Remboken (Tondano), Sulawesi Utara pada 12 April 1940. Ia sempat bersekolah di ELS (Europees Lagere School) di Manokwari — sekolah dasar untuk anak-anak golongan Eropa pada masa penjajahan Belanda. Kemudian ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah menengah pertama dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. (hal 371).
Buku ini tidak menjadi glorifikasi institusi Kompas, melainkan ruang kontemplatif dari para insan pers yang pernah berada di dalamnya. Namun, sebagai pembaca, mungkin kita berharap lebih: seandainya ada pengantar yang memberi konteks struktural tentang perubahan Kompas sebagai institusi pers dari masa ke masa, buku ini akan semakin lengkap.
Tanpa itu, sebagian pembaca muda mungkin akan kesulitan mengaitkan dinamika personal para wartawan dengan sejarah media Indonesia secara lebih luas. Akhirnya bahwa Kompas punya moral dari Para Wartawan Di tengah banyaknya suara-suara yang mencurigai media, buku ini hadir seperti kompas moral — bukan hanya bagi wartawan, tapi juga bagi publik yang masih percaya bahwa informasi yang jujur adalah fondasi demokrasi.
Dan saya sampaikan Kesaksian 23 Wartawan Kompas adalah bacaan wajib bukan hanya untuk kalangan jurnalis, tapi juga untuk mahasiswa komunikasi, peminat sejarah media, dan siapa pun yang ingin memahami mengapa berita itu bukan produk, tapi proses — dan wartawan bukan sekadar penulis, tapi penjaga nurani zaman. Kalau saya sampaikan Rating Rekomendasi: Sangat layak dibaca, dikoleksi, dan didiskusikan — terutama di ruang-ruang akademik, redaksi, maupun komunitas jurnalis muda. Tabik..!!
27 Juni 2025
