27.7 C
Bandung
Friday, November 7, 2025

Buy now

Jabatan Rangkap: Sorotan Ramai, Rakyat Terpinggirkan

JABATAN RANGKAP: SOROTAN RAMAI, RAKYAT TERPINGGIRKAN CARI KERJAAN

Di negeri yang katanya (Indonesia) demokratis ini, ada kenyataan getir yang terus mengendap dalam hati rakyat: Ada jabatan rangkap Hmmm. Satu orang memegang dua hingga tiga jabatan strategis sekaligus, sementara jutaan rakyat lainnya berjuang keras hanya untuk mendapatkan satu pekerjaan saja harus mencari-cari.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Ini sejak era Orde Baru (orba) hingga era yang katanya demokrasi digital hari ini, kursi kekuasaan selalu menjadi medan rebutan segelintir elit. Bedanya, kini rakyat sudah lebih sadar, lebih lantang bersuara, dan lebih jengah terhadap sistem yang membuat segelintir orang begitu rakus akan posisi, sementara rakyat yang lain hanya bisa menonton di pinggir lapangan.
Rakyat Miskin Kesempatan, Elit Kaya Jabatan
Apa sebenarnya makna jabatan di Indonesia ini? Jika jabatan adalah amanah untuk melayani, mengapa harus dirangkap? Jika jabatan adalah tanggung jawab untuk menyejahterakan, mengapa tidak dibagi? Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di ruang-ruang publik dan digital. Di warung kopi, ada seminar dan forum-forum, baik gedung hotel atau kampus, hingga obrolan media sosial, rakyat bertanya-tanya: mengapa satu orang bisa duduk di dua kursi, sementara ribuan sarjana muda menganggur tak tentu arah?
Dalam teori komunikasi politik yang sehat, distribusi kekuasaan adalah keniscayaan untuk mencegah monopoli dan untuk memperluas partisipasi. Namun di Indonesia, justru terjadi sebaliknya. Kekuasaan terkonsentrasi, kursi dipegang berganda, dan jabatan seakan menjadi hadiah politik yang dibagi-bagi bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan dan kepentingan.
Antara Kepentingan dan Ketidakadilan Struktural
Kita hidup di zaman yang mengklaim keterbukaan, tetapi justru menutupi banyak kenyataan. Rakyat kecil mungkin hanya tahu satu sisi: mereka tidak kebagian pekerjaan. Tapi mereka tidak bodoh. Mereka tahu, ada banyak jabatan yang mestinya bisa dibagi untuk membuka ruang kerja baru—terutama di sektor publik dan lembaga negara. Bahkan di sektor pendidikan, budaya jabatan rangkap kerap terlihat mencolok.
Ada Rektor bisa menjadi komisaris, pejabat kementerian bisa merangkap ketua dewan pengawas, bahkan tokoh ormas bisa masuk ke jajaran direksi BUMN. Ini bukan soal kemampuan semata, ini soal ketamakan. Dan ketamakan itu tak punya tempat dalam tatanan demokrasi yang sehat. Tak heran jika angka pengangguran struktural tinggi, dan ketimpangan makin melebar. Ini bukan karena rakyat malas, tapi karena sistem yang tak adil membatasi akses.
Regulasi Lemah, Mentalitas Elitis
Indonesia sebenarnya punya regulasi yang membatasi jabatan rangkap. Namun, seperti biasa, aturan tinggal aturan, interpretasinya bisa fleksibel tergantung siapa yang diuntungkan. Tak ada komitmen serius untuk menertibkan hal ini. Justru yang terjadi, elit-elit baru bermunculan dengan semangat “merangkap adalah prestasi.” Semakin banyak jabatan, semakin tinggi status sosialnya. Padahal publik tahu, tidak mungkin satu orang bisa bekerja optimal dalam dua atau tiga jabatan sekaligus. Itu hanya menambah tumpukan gaji, bukan kualitas pelayanan.
Di sinilah dilema kita hari ini: hukum bisa dibuat tegas, tapi mentalitas elitis yang rakus jauh lebih kuat pengaruhnya. Keadilan Harus Dimulai dari Distribusi Jabatan Keadilan sosial bukan sekadar slogan di pembukaan UUD 1945. Ia harus diwujudkan melalui tindakan nyata. Salah satunya: membatasi jabatan rangkap dan membuka peluang yang lebih luas bagi rakyat biasa untuk mengisi posisi publik.
Bayangkan jika semua kursi publik yang saat ini dirangkap bisa dibagi. Akan ada ratusan, bahkan ribuan posisi baru bagi generasi muda, profesional daerah, akademisi, dan aktivis yang selama ini hanya menjadi penonton. Kita butuh sistem yang memberi ruang bagi keberagaman, bukan sistem yang dikuasai segelintir orang yang itu-itu saja. Kesimpulan:
Saatnya Kursi Dibagi, Bukan Dikuasai
Negara ini tidak kekurangan orang pintar. Kita hanya kekurangan sistem yang adil. Selama jabatan masih dirangkap oleh segelintir elit, maka keadilan hanya menjadi mitos di tengah sorak sorai demokrasi palsu. Rakyat sudah terlalu lama menunggu. Mereka hanya ingin satu hal sederhana: kesempatan. Dan berikut daftar lengkap 30 wakil menteri (Wamen) yang rangkap jabatan jadi komisaris BUMN: 1. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie: Komisaris PT Pertamina Hulu Energi (PHE) 2. Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono: Komisaris PT Pertamina Patra Niaga 3. Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno: Komisaris PT Pertamina International Shipping (PIS) 4. Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga (Wamenpora) Taufik Hidayat: Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) 5. Wakil Menteri Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan: Komisaris di PT Citilink Indonesia 6. Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto: Komisaris PLN 7. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono: Komisaris Utama PT Pupuk Indonesia 8. Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha: Komisaris Garuda Maintenance Facility Aero Asia 9. Wakil Menteri Komunikasi & Digital Angga Raka Prabowo: Komisaris Utama Telkom 10. Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan: Komisaris Telkom 11. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenazer: Komisaris Pupuk Indonesia 12. Wakil Menteri Imigrasi Silmy Karim: Komisaris Telkom Indonesia 13. Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah: Komisaris BTN 14. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara: Komisaris PLN 15. Wakil Menteri BUMN Aminuddin Ma’ruf: Komisaris PLN 16. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo: Komisaris Utama BRI 17. Wakil Menteri UMKM Helvy Yuni Moraza: KOmisaris BRI 18. Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti: Komisaris Utama Brantas Abipraya 19. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung: Komisaris Bank Mandiri 20. Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan Laksamana Madya TNI (Purn) Didit Herdiawan Ashaf: Komisaris Utama Perikanan Indonesia 21. Wakil Menteri Perhubungan Komjen Pol (Purn) Suntana: Komisaris Utama Pelindo 22. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono : Komisaris Pertamina Bina Medika 23. Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto: Komisaris PT Dahana 24. Wakil Menteri P2MI/Wakil Kepala BP2MI Christina Aryani: Komisaris Semen Indonesia 25. Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono: Komisaris Utama PT Telekomunikasi Seluler 26. Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Ratu Isyana Bagoes Oka: Komisaris PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk 27. Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri: Komisaris Utama PT Sarinah 28. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinator Penanaman Modal Todotua Pasaribu: Wakil Komisaris Utama Pertamina 29. Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro: Komisaris Utama Jasa Marga 30. Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Riza Patria: Komisaris PT Telekomunikasi Seluler.
Asyik ya mereka yang sudah posisi pentin dikasih jabatan lagi, makin tajir dong….Semoga saja jabatan lainnya tak bisa dibagi, maka kepercayaan publik pun akan terus bertanya-tanya, dan semoha kritik atas semua ini tidak  tergerus. Dan jika masih saja tak melihat rakyat yang secara realita maka kepercayaan apa akan hilang? Maka takutnya tak ada lagi pijakan bagi negara untuk berdiri kokoh.
— Aendra Medita, analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles