Baiknya jangan ada tersangka siluman seperti ini adalah cermin borok penegakan hukum kita yang separuh hati. Apakah ini bentuk impunitas yang diselipkan dalam narasi “penegakan hukum”? Atau inikah cara licik untuk melindungi aktor-aktor besar yang terlibat tetapi berada di lingkaran kekuasaan? Kejagung harus menjawab ini secara terbuka. Diam berarti membenarkan. Klarifikasi setengah hati hanya akan menambah luka kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Jika benar ada upaya membatalkan status tersangka melalui intervensi kekuasaan, maka kasus mafia migas ini bukan hanya soal korupsi, tapi juga soal pembusukan negara dari dalam. Desakan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman agar Kejagung menggunakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau. Hanya dengan pendekatan TPPU, kekayaan hasil korupsi bisa disita dan kerugian negara dipulihkan. Ini bukan sekadar soal menghukum, tapi soal mengembalikan hak rakyat yang dirampok bertahun-tahun. Perlu diingat, mafia migas tidak mungkin berdiri sendiri. Mereka butuh tangan kekuasaan, kelengahan pengawas, dan diamnya aparat. Seluruh rantai ini harus dibongkar: dari pengusaha busuk, pejabat BUMN, hingga oknum pengatur kuota minyak mentah di SKK Migas dan Pertamina Hulu Energi. Jika Kejagung serius, “kloter-kloter” berikutnya harus menyeret juga tokoh-tokoh besar lain: Mister James, kartel perusahaan tanker di Pertamina International Shipping, dan para “raja bayangan” yang selama ini menikmati rente migas dari balik layar. Kami tak butuh penegakan hukum yang selektif. Kami tak butuh pencitraan ala “pembersihan”. Kami butuh pembongkaran total. Mafia migas adalah kanker sistemik, dan negara tak boleh ragu mengoperasinya, meski harus memotong daging kekuasaan sendiri.