#NgopiPagi: Ketika Pemimpin Tak Utuh, Hukum Jadi Mainan
Selama pemimpin belum bisa menempatkan diri sepenuhnya dalam kepentingan rakyat, maka arah bangsa akan terus tersesat dalam lorong gelap kekuasaan yang egoistis. Pemimpin yang tidak utuh—yakni yang tak menjadikan suara rakyat sebagai kompas moral—akan cenderung membajak kekuasaan untuk kepentingan sempit. Ketika itu terjadi, hukum pun tak lagi berwibawa; ia bisa diacak-acak, dipelintir sesuai nafsu penguasa.
Seperti yang dikatakan Abraham Lincoln, “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” Kekuasaan adalah ujian. Sayangnya, banyak pemimpin kita yang justru gagal dalam ujian itu.
Mereka membiarkan hukum menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan. Saat hukum kehilangan fungsi substansialnya karena diintervensi oleh kekuasaan, negara mengalami erosi kepercayaan. Maka jangan heran bila hukum hari ini tampak tajam ke bawah namun tumpul ke atas—sebuah ironi yang terus berulang.
Seperti kata Bung Hatta, “Korupsi menjadi budaya karena hukum tidak ditegakkan. Bukan karena rakyat tidak tahu hukum, tapi karena penguasa mempermainkannya.” Ini bukan lagi persoalan lemahnya hukum, tapi lemahnya moralitas pemimpin.
Ketika pemimpin lebih sibuk menjaga citra dibanding menjaga integritas, maka nasib rakyat terabaikan. Saat pemimpin hanya menjadi juru bicara kekuasaan, bukan penyambung lidah rakyat, maka yang terjadi adalah ketimpangan sosial dan rasa keadilan yang makin menjauh. Hukum kemudian menjadi panggung dagelan.
Kata Plato, “The worst form of injustice is pretended justice.” Keadilan pura-pura adalah bentuk kezaliman paling keji. Di tengah situasi ini, rakyat hanya bisa menonton permainan hukum yang dijalankan oleh para elit, tanpa bisa ikut mengendalikan arah. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, hukum harus berada di atas kekuasaan.
Bila kekuasaan lebih tinggi dari hukum, maka yang lahir adalah otoritarianisme dalam selubung demokrasi palsu. Pemimpin yang utuh adalah mereka yang meletakkan dirinya sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa atas rakyat.
Ia mengikatkan dirinya pada amanah, bukan pada ambisi. Nelson Mandela pernah mengatakan, “A good head and a good heart are always a formidable combination.” Tapi hari ini, kita terlalu sering melihat kepala tanpa hati. Pemimpin dengan kalkulasi tajam, tapi tanpa empati.
Selama pemimpin masih memikirkan dirinya lebih dulu daripada rakyatnya, maka hukum akan terus jadi alat permainan. Maka ya begini: keadilan mandek, korupsi merajalela, ketimpangan menganga, dan rakyat tetap jadi penonton dalam teater kekuasaan. Sudah saatnya bangsa ini menuntut keutuhan dari seorang pemimpin—bukan sekadar sosok yang bisa bicara, tapi yang bisa berpihak.
Bukan yang sibuk tampil, tapi yang bekerja dalam diam. Sebab hanya pemimpin yang utuh, yang bisa menjaga hukum tetap tegak dan rakyat tetap berdaulat.
— Aendra Medita
