#NGIPOPAGI: “Tak Sama Antara Iri dan Syukur”
DAN di antara banyak rasa yang tumbuh dalam dada manusia, ada dua yang tak pernah bisa bersatu: iri dan syukur. Mereka seperti siang dan malam, seperti gelap dan terang, seperti racun dan penawar. Iri menggerogoti, sementara syukur menyembuhkan. Iri mempersempit ruang hati, sementara syukur melapangkannya.
Dan manusia, sepanjang sejarahnya, selalu diuji dengan pilihan antara keduanya. Iri adalah luka yang tumbuh dari pandangan mata yang salah arah. Ia muncul ketika seseorang lebih memilih melihat keberhasilan orang lain daripada menyadari nikmat yang sudah ada dalam hidupnya sendiri. Iri tidak pernah datang dari kekurangan sejati, tapi dari perasaan tidak cukup yang dibisikkan oleh keinginan yang tak terkendali.
Lihatlah seseorang yang memiliki rumah besar, kendaraan mewah, jabatan tinggi—bagi yang hatinya belum dilatih syukur, semua itu adalah pemantik iri. Tapi bagi yang jiwanya tenang dan tahu cara menundukkan ego, semua itu hanyalah takaran dunia yang fana. Sebab tidak semua yang tampak megah di luar, benar-benar bahagia di dalam.
Syukur tidak butuh kemewahan untuk hadir. Ia bahkan bisa tumbuh dari nasi hangat dan garam di meja, dari tawa anak-anak di sore hari, dari langkah yang masih bisa berjalan ke tempat kerja, dari hujan yang turun membasahi tanah.
Syukur hidup dalam kesadaran, bahwa hidup ini bukan tentang memiliki semua yang diinginkan, melainkan tentang mencintai apa yang sudah dimiliki. Orang yang iri takkan pernah puas. Hari ini ia iri pada keberhasilan tetangganya, esok ia iri pada teman kerjanya, lusa ia iri pada orang asing di media sosial.
Hidupnya dipenuhi keluh dan tuntutan. Matanya tak pernah bersinar karena hatinya selalu gelap.
Bahkan saat ia mendapatkan sesuatu yang diimpikan, ia segera merasa kurang lagi. Iri membuat manusia menjadi pelari yang tak tahu garis akhir.
Berbeda dengan orang yang bersyukur. Ia hidup dengan lebih tenang, lebih ringan, lebih damai. Ia tidak menakar nilai dirinya dari pencapaian orang lain. Ia tahu bahwa rezeki setiap orang berbeda, dan bahwa setiap takdir membawa pelajaran yang unik. Ia mengerti bahwa keterlambatan bukan kutukan, dan kekurangan bukan kehinaan.
Ia tahu bahwa apa yang tampak kecil di mata dunia, bisa jadi sangat besar di mata Tuhan. Iri menutup pintu-pintu kebahagiaan.
Ia membuat seseorang merasa dunia tidak adil, Tuhan tidak adil, dan hidup hanya milik mereka yang beruntung. Sementara syukur membuka pintu-pintu baru. Ia membawa ketenangan, menghadirkan kejernihan berpikir, dan sering kali justru menarik rezeki yang tak disangka-sangka.
Karena Tuhan menjanjikan, “Jika kamu bersyukur, Aku akan menambah nikmat-Ku.” Pernahkah kita melihat seseorang yang tampak sederhana tapi wajahnya bersinar bahagia?
Dan pernahkah kita melihat orang yang punya segalanya tapi wajahnya murung dan gelisah? Barangkali perbedaannya hanya satu: yang satu memilih syukur, yang lain terjebak dalam iri. Syukur tidak membuat orang berhenti bermimpi. Ia justru menjadi bahan bakar untuk terus bergerak, tapi dengan hati yang damai. Syukur bukan pasrah tanpa usaha, tapi ikhlas dalam setiap langkah.
Sementara iri seringkali justru membuat orang terperosok dalam usaha yang salah arah—bukan untuk berkembang, tapi untuk menyaingi, mengalahkan, bahkan menjatuhkan. Iri merusak hubungan. Ia membuat orang sulit mengakui kehebatan orang lain, sulit memberikan pujian tulus, dan selalu mencari-cari celah untuk meremehkan. Tapi syukur membangun silaturahmi.
Ia membuat seseorang lebih ringan berkata, “Alhamdulillah, saya ikut senang atas keberhasilanmu.” Ia tidak merasa dirugikan oleh keberhasilan orang lain, karena ia tahu, cahaya tidak akan berkurang dengan menyalakan cahaya orang lain. Dan dalam kehidupan ini, semua akan diuji. Orang miskin diuji dengan kekurangan, orang kaya diuji dengan kelapangan. Orang terkenal diuji dengan sorotan, orang biasa diuji dengan ketidaknampakan.
Tapi semua, tanpa kecuali, akan diuji pula dengan rasa iri dan rasa syukur. Kita hanya perlu memilih dengan sadar: ingin hidup dengan luka yang tumbuh diam-diam, atau dengan cahaya yang bertambah perlahan. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan rasa iri. Waktu terlalu berharga untuk membandingkan jalan kita dengan jalan orang lain.
Setiap manusia punya musimnya sendiri. Ada yang mekar di usia muda, ada yang bersinar di usia senja. Dan semuanya indah, selama disirami syukur. Jadi bila suatu hari kita merasa kurang, merasa tertinggal, merasa kecil di tengah keramaian pencapaian orang lain—berhentilah sebentar.
Duduklah dalam diam. Ingatkan diri sendiri bahwa tidak semua hal harus dimiliki. Tidak semua mimpi harus sama. Dan tidak semua jalan harus ditempuh dengan tergesa-gesa. Karena sesungguhnya, tak akan pernah sama antara iri dan syukur. Yang satu menyiksa perlahan. Yang satu menyembuhkan dalam diam.
Maka, hiduplah dengan hati yang lapang. Rayakan setiap detik yang masih diberi. Dan pilihlah syukur, karena ia adalah akar dari kebahagiaan yang sejati.
Dalam #NGOPIPAGI ini saya ajak nikmati kopi Puntang yang mempunyai rasa yang kuat jika melalui proses penggilingan manual. Karakteristiknya manis dan sedikit asam itu yang membuat kopi jadi nikmat, sangat cocok dengan lidah orang Indonesia Tak hanya itu, Kopi Gunung Puntang memiliki rasa buah lokal, mirip rasa jambu biji, banana (pisang), dan ada nangkanya.
Sekadar tahu saja bahwa Kawasan Gunung Puntang berada di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Kopi Puntang pohonnya rimbun membuat pohon kopi menyejukkan dipandangnya. Letas dan geografisnya membuat tanah Puntang kaya akan unsur hara yang ada di ketinggian 1000 mdpl. Gunung Puntang menyimpan emas hitam yang ketenarannya tak diragukan lagi. Cita rasa kopinya sudah diakui Dunia sebagai kopi dengan aroma yang luar biasa.
Maka para pecinta kopi tak boleh ketinggalan merasakan sensasi kopi Gunung Puntang. Bahkan pernah menyabet penghargaan peringkat pertama unggul dalam kategori rasadari Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo 2016 di Atlanta, Amerika Serikat, kopi Puntang jadi mendunia. Tak main-main dan ini nikmat seklai kalau dinikmati dengan hati. Maka rasa iri akan terjauh dan kita bersyukur terus saja. Aamiin. (am)