Ekonom senior, Ichsanuddin Noorsy melontarkan kritik keras terhadap Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Menurutnya, konstitusi yang berlaku saat ini penuh inkonsistensi hingga menciptakan sistem “authoritarian legalism” yang merugikan rakyat.
“Undang-Undang Dasar 1945 amandemen 2002 pada hakikatnya menerapkan authoritarian legalism. Kalau politik sudah berantakan, demokrasi berantakan, sosiologi berantakan, ekonomi juga berantakan, maka berantakanlah negeri ini,” tegas Noorsy di kanal YouTube UI Watch, kemarin.
Kritik paling tajam Noorsy ditujukan pada kebijakan ekonomi yang dinilai menerapkan sistem “financialization”. Ia menyebut kebijakan obligasi berbunga tinggi justru membuat rakyat miskin menanggung beban untuk membayar orang kaya.
“Pemerintah bangga dengan obligasi berbunga tinggi yang berakibat pada rakyat miskin membayar orang kaya. Itu financialization. Itu akibat Pasal 33 ayat 4–akibat pemerintah tidak berpihak kepada rakyat,” ungkap Noorsy.
Noorsy mengidentifikasi tiga inkonsistensi mendasar dalam UUD 1945. Pertama, struktur bahasa Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dinilai bermasalah secara gramatikal.
Kedua, Pasal 2 ayat 1 tentang komposisi MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD hasil pemilu dinilai tidak konsisten dengan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, sistem pemilihan presiden dalam Pasal 6 ayat 2 yang memberikan hak usul kepada partai politik menciptakan pergeseran kekuasaan berlebihan pada presiden hingga memunculkan sindrom “I am the law”.
Ia juga mempertanyakan konsep check and balance dalam sistem ketatanegaraan saat ini. Ia mencontohkan pengangkatan Duta Besar yang harus mendapat persetujuan DPR, padahal presiden disebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
“Jika presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi, tapi pengangkatan Dubes harus minta persetujuan DPR, semua kembali ke DPR. Anda bilang check and balance? Check and balance apa kalau seperti itu?” tanyanya retoris.
Noorsy juga mengkritik inkonsistensi dalam Pasal 33 tentang demokrasi ekonomi. Menurutnya, demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 ayat 4 tidak sejalan dengan ayat 1, 2, dan 3 yang mengatur penguasaan negara atas sumber daya alam.
“Ini inkonsisten secara teori, konsepsi, dan paradigma. Kita terperangkap dalam materialisme radikal dan harus keluar dari perangkap ini,” tegasnya.
Komisi Konstitusi yang dipimpin Noorsy mengusulkan perubahan komprehensif terhadap UUD 1945 dengan pendekatan multidisiplin. Tim mereka menggunakan analisis politik, hukum, sosiologi, ekonomi, hingga hubungan internasional.
Salah satu contoh perubahan yang diusulkan adalah menambahkan kata “dirgantara” dalam Pasal 33 ayat 3, sehingga berbunyi “bumi, air, dan dirgantara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”
“Pembahasan satu ayat saja bisa makan waktu berjam-jam. Kami harus mengantisipasi perkembangan era digital dan merumuskan batasan-batasan otonomi dengan perkembangan teknologi,” jelasnya.
Noorsy menegaskan bahwa upaya perubahan konstitusi ini dilakukan untuk menyelamatkan bangsa dari kerusakan yang sudah mengakar. Komisi Konstitusi menargetkan selesainya pembahasan seluruh 36 pasal dalam UUD 1945.
“Mudah-mudahan kita mampu menyelamatkan bangsa ini yang sudah berada dalam kerusakan mendalam. Perdebatan dengan teman-teman membuktikan kita terperangkap dalam materialisme radikal,” pungkasnya.
Hingga saat ini, Komisi Konstitusi telah menyelesaikan pembahasan 6 pasal inti dari total 36 pasal yang akan dikaji ulang. (RIS)
