28.5 C
Bandung
Sunday, November 9, 2025

Buy now

“Populisme Palsu dan Krisis Otentisitas Pemimpin Kita?”

#NGOPIPAGI Catatan Aendra “Populisme Palsu dan Krisis Otentisitas Pemimpin Kita?”

(Sebuah Catatan Kekinian tentang Saat ini)

Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia – (PKKPI) di dalam ruang diskusi sering muncul satu pertanyaan mendasar yang berulang dari generasi ke generasi: Apakah pemimpin kita sungguh hadir karena panggilan sejarah, atau hanya muncul karena sorotan kamera?
Itu bukan pertanyaan sinis. Tapi itu adalah refleksi dari apa yang kita lihat hari ini: betapa banyak tokoh yang terlalu sibuk mencitrakan (bahasa kami mereputasi diri), bukan membentuk karakter diri.
Fenomena populisme palsu kian menonjol. Banyak tokoh publik—baik pejabat, kandidat politik, bahkan figur publik non-partai—berlomba-lomba tampil seperti “orang kecil”. Mereka memakai bahasa rakyat, baju rakyat, makanan rakyat, tapi tetap menjauh dari substansi perjuangan rakyat.
Mereka tampil dalam wujud citra agar populir, padahal cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan mereka masih sangat elitis. Kami di PKKPI mencatat, bahwa dalam lima tahun terakhir, komunikasi politik di Indonesia telah bergerak dari narasi ideologis menjadi narasi impresi.
Bukan lagi soal apa yang diperjuangkan, tapi apa yang ditampilkan.
Reputasi yang Diproduksi
Gimmick Politik yang Melelahkan Sebagian besar dari kita sudah lelah melihat simbolisme kosong, semu. Tokoh politik yang masuk sawah, tapi tidak pernah bicara soal reforma agraria. Ada Pejabat yang sarungan ke kampung, tapi lupa memperjuangkan anggaran kesehatan dan pendidikan warga. Dan Influencer politik yang rajin berbicara tentang “suara rakyat”, tapi hidup mewah dan anti-kritik. Ini bukan hal sepele. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap nalar publik.
Di dalam terminologi kajian komunikasi politik, kami menyebut ini sebagai manipulasi representasi—upaya sistematis untuk menghadirkan figur yang “diinginkan rakyat” secara visual, padahal secara struktural dan kebijakan, tidak mewakili siapa pun selain diri dan kelompoknya. Di titik ini kita harus mengingatkan diri: reputasi bukanlah produk yang bisa diciptakan oleh konsultan.
Reputasi adalah hasil dari waktu, kerja nyata, konsistensi, dan keberanian untuk berpihak, bahkan ketika posisi itu tidak populer.
Populis Sejati Tak Perlu Mengaku Populis
Sebagai analis PKKPI, saya tidak memusuhi populisme. Populisme bisa menjadi alat untuk membongkar ketimpangan antara elite dan rakyat. Tapi hari ini yang kita saksikan bukanlah itu. Kita tidak sedang menyaksikan perlawanan terhadap elite, tetapi perlawanan palsu yang dibungkus sebagai “dekat dengan rakyat”, padahal hanya bagian dari desain agar menuju elektoral.
Ada seorang tokoh yang sungguh populis kita sebut. Pastinya tidak akan mengumumkan dirinya populis. Ia akan hidup dan bekerja dalam kesenyapan. Reputasinya akan dibangun oleh publik yang nyata, bukan oleh agensi komunikasi strategic. Kami sering menyebut ini sebagai “reputasi alami”—reputasi yang tumbuh seperti pohon: dari akar, bukan dari semprotan cat. Ia tidak bisa dipaksakan, apalagi dipoles setiap minggu menjelang akan turba saat pemilu.
Krisis Otentisitas dan Kebutuhan
Saat ini tokoh baru di Indonesia sedang mengalami krisis otentisitas pemimpin. Bukan karena rakyat kekurangan pilihan, tapi karena pilihan yang tersedia seringkali sudah dikemas sejak awal—ditentukan oleh kekuatan dana besar (uang), polling yang “direkayasa, atau algoritma” yang membentuk persepsi publik lewat media sosial.
Tokoh-tokoh baru yang ingin masuk ke arena politik kerap merasa harus menyesuaikan diri dengan “gaya populis”. Mereka menganggap rakyat hanya bisa diajak dengan retorika sederhana dan gimmick visual. Padahal, rakyat Indonesia jauh lebih cerdas dari itu. Mereka tidak butuh pertunjukan. Mereka butuh pemimpin yang mengerti masalah mereka, dan berani mengambil posisi sulit untuk menyelesaikannya. Di sinilah tantangan bagi kita semua, terutama di lembaga seperti PKKPI: bagaimana mendorong lahirnya pemimpin yang tidak sibuk menciptakan reputasi, tapi membiarkan reputasi itu tumbuh dari sikap dan tindakan nyata.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Sebagai peneliti dan para pengamat komunikasi politik, kita percaya ada beberapa hal mendesak yang harus mulai dibangun:
– Pendidikan politik rakyat yang kritis, agar masyarakat tidak mudah terkecoh oleh tampilan visual.
– Pemberdayaan media alternatif dan jurnalisme independen untuk menguji konsistensi antara ucapan dan tindakan para tokoh.
– Mendorong figur otentik dari komunitas, dunia pendidikan, aktivisme sosial, dan budaya, agar tidak hanya tokoh elite yang mendominasi narasi publik.
– Memperkuat kajian-kajian politik berbasis etika dan budaya, agar bangsa ini tidak terjebak pada politik visual dan sensasionalisme semata.
Dan biarkan Reputasi Itu Alami dimana bahwa pernah menulis: “Reputasi, bukan busuk. Tapi Harus alami saja.” Kalimat itu kami tujukan bagi mereka yang terlalu ingin terlihat baik, sebelum benar-benar melakukan kebaikan. Terlalu ingin dianggap merakyat, sebelum benar-benar turun mendengar dan berpihak. Bangsa ini tak butuh tokoh dengan kamera di belakangnya setiap saat. Kita butuh tokoh yang meski tidak viral, tapi konsisten menyuarakan kebenaran, dan berani membela rakyat meski tak populer. Biarkan reputasi itu lahir sebagai hasil dari kesetiaan pada nilai. Dan kesimpulannya, biarkan rakyat yang menilai, bukan algoritma. Biarkan sejarah yang mencatat, bukan buzzer. Tabik
Aendra Medita bagian kecil dari analis Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles