CUITAN BURUNG PIPIT DI TENGAH GELOMBANG KEMAKSIATAN BESAR
Oleh Nizar Iskandar*)
Mungkin sebagian dari kita pernah mendengar kisah seekor burung pipit di zaman Nabi Ibrahim `alaihissalam.
Singkatnya, ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api oleh Raja Namrud karena dakwah tauhidnya, banyak orang berkumpul untuk menyaksikan peristiwa itu.
Di tengah kobaran api yang dahsyat, seekor burung pipit terlihat terbang bolak-balik, mengambil air dari danau lalu meneteskannya ke api.
Seekor burung gagak yang melihatnya berkata, “Apa yang sedang kau lakukan? Usahamu sia-sia. Air yang kau bawa tak akan mampu memadamkan api sebesar itu.”
Burung pipit menjawab, “Aku tahu air ini tak akan memadamkan api itu. Tapi aku ingin menunjukkan kepada Allah bahwa aku berada di pihak yang benar dan berusaha sesuai kemampuanku.”
Jawaban itu sederhana, tapi sangat dalam. Allah melihat keberpihakan hati dan ketulusan usaha, bukan hanya hasil akhirnya.
Kisah pipit itu bisa menjadi cermin bagi kita hari ini.
Kita hidup di zaman penuh gelombang maksiat dan kedzaliman. Tanpa saya sebut pun, sahabat semua tentu dapat melihatnya dengan jelas.
Saya hanyalah seekor “pipit” di zaman ini—tak punya kekuasaan, tak punya harta, tak punya pengawal, bahkan kemampuan pun sangat terbatas. Andai ditangkap, dikurung, atau dibunuh, itu akan mudah dilakukan. Yang saya punya hanyalah iman dan hati nurani.
Hati nurani melahirkan kepedulian: terhadap keadilan, kebenaran, kedamaian, kesetaraan sosial, dan masa depan bangsa. Sementara iman menjadi benteng terakhir untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, menyuarakan kebenaran dan keadilan—seperti yang terus digaungkan oleh sebagian masyarakat, LSM, ormas Islam, dan para aktivis yang Allah karuniai iman dan hati nurani yang hidup.
Namun, bagi orang munafik dan ahli maksiat, dua hal itu—iman dan hati nurani—sering dianggap tak berguna. Bahkan, keduanya harus disingkirkan terlebih dahulu saat hendak melakukan kejahatan. Saat iman disingkirkan, siapakah yang mereka turuti? Jawaban pasti: hawa nafsu.
Hawa nafsu bahkan lebih membangkang daripada iblis. Iblis masih mengakui Allah sebagai Tuhan, walau menolak taat. Sedangkan hawa nafsu, untuk mengakui Allah, harus dihukum ribuan tahun di neraka hingga tiga kali. Saat Allah bertanya, “Siapakah Aku dan siapakah kamu?”, nafsu menjawab dengan sombong: “Aku adalah aku, Engkau adalah Engkau.”
Jika nafsu menguasai, apa kabar iman dan hati nurani? Bisakah kebenaran dan keadilan tegak? Inilah potret bangsa kita hari ini.
Namun, sebagai orang yang masih menyimpan iman di hati, kita yakin Allah Maha Berkehendak. Tiada yang diciptakan-Nya sia-sia:
“Rabbanaa maa khalaqta haadzaa bathila” — Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia (QS. Ali Imran: 191).
Dan Allah sudah mengingatkan dalam surat Al-‘Ashr:
“Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholeh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.”
Semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah, kezaliman, dan mengaruniai kekuatan untuk memerangi hawa nafsu. Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada para sahabat sepulang dari Perang Badar:
“Kita baru saja kembali dari perang kecil menuju perang yang lebih besar.”
Sahabat bertanya, “Apakah itu, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Perang melawan diri sendiri (hawa nafsu).”
Wallahu a’lam bish-shawab.
*)Jurnalis dan pelaku seni
