Bangsa Ini Sudah Kaya, Jangan Kau Sakiti Bangsa Ini
Bangsa ini sudah kaya. Judul diatas adalah realitas. Ya Indonesia sebenarnya “Kaya” bukan sekadar angka ekonomi, tapi kaya dari akar paling dalam: tanah, air, udara, ragam manusia, dan ingatan sejarahnya.
Soekarno pernah berteriak lantang: “Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan!” Kalimat itu bukan sekadar mimpi, tapi juga teguran—jangan sampai kita yang sudah diberi anugerah malah tega merusak diri sendiri. Kekayaan bangsa ini nyata.
Lihatlah laut yang membentang, hutan tropis yang lebat, dan budaya yang tak pernah habis digali. Bung Hatta pernah mengingatkan, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur sulit diperbaiki.”
Nah, di situlah akar masalah kita: bangsa kaya ini bukan rusak karena kurang sumber daya, tapi karena keserakahan dan kebohongan. Korupsi, misalnya, bukan sekadar maling uang negara. Ia maling masa depan.
JIka kutip tokoh dunia Mahatma Gandhi tentang tujuh dosa sosial, salah satunya adalah “politik tanpa prinsip.” Korupsi lahir dari politik tanpa prinsip, dari janji-janji kosong yang memabukkan.
Bangsa ini sakit bukan karena miskin, tapi karena diperas oleh mereka yang mestinya menjaga. Saya teringat unkapan Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.”
Dalam konteks bangsa, kalau kita tidak jujur mencatat luka dan menyuarakan kebenaran, maka sakit bangsa ini akan dianggap biasa, seolah bukan penyakit. Menulis, berbicara, menyuarakan—itu bagian dari merawat bangsa. Bangsa ini juga kaya budaya, kaya jiwa.
Nelson Mandela (Nelson Rolihlahla Mandela) seorang revolusioner antiapartheid dan politikus Afrika Selatan menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999 pernah berujar, “Tidak ada yang lebih menunjukkan jiwa sebuah bangsa selain cara ia memperlakukan rakyatnya yang paling miskin.”
Pertanyaannya, apakah kita sudah memperlakukan rakyat kecil dengan adil? Lihatlah petani yang panennya tak laku, karena ada impor besar-besaran,,nelayan yang tersingkir kapal besar, buruh yang gajinya pas-pasan. Padahal justru mereka tulang punggung bangsa ini.
Seni pun bagian dari kekayaan itu. W.S. Rendra penyair dan dramawan Indonesia yang terkenal dengan puisi pernah menulis: “Kesaksian penyair adalah suara nurani bangsanya.” Kalau seni dibungkam, bangsa kehilangan cermin. Jangan kau sakiti bangsa ini dengan membungkam seniman, sebab senimanlah yang sering jadi alarm—menyadarkan ketika kekuasaan mulai kehilangan arah.
Jadi sekali lagi: bangsa ini sudah kaya. Jangan kau sakiti dengan kebohongan, dengan keserakahan, dengan diskriminasi. Ingat pesan Soekarno, Bung Hatta, Pramoedya, Rendra, Mandela—semua bersuara dalam nada yang sama: jagalah bangsa, cintai rakyat, tegakkan keadilan. Cag!!
*) Jurnalis, dan analis Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK)
