Untuk 100 Tahun Indonesia: Adil Makmur Indonesia
“Indonesia merdeka haruslah membawa rakyatnya kepada hidup yang adil dan makmur. Kemerdekaan tanpa keadilan sosial tidak ada artinya.”
— Mohammad Hatta
Kalimat itu berdiri tegas dalam Pancasila, seolah menjadi bintang penuntun arah bangsa. Tetapi setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, adil dan makmur masih sering terasa seperti janji yang jauh di ujung jalan. Indonesia berdiri dengan mimpi besar: setiap orang berhak hidup layak, hukum tegak tanpa pandang bulu, dan kesejahteraan bisa dirasakan dari Sabang sampai Merauke.
Namun kenyataan sehari-hari sering menampar kita. Rakyat kecil masih berdesakan di pasar, berebut rezeki yang sempit. Anak-anak bangsa masih berjuang keras untuk bisa sekolah, sementara sebagian elite mempermainkan kekuasaan dengan rakus.
Apakah ini yang dimaksud para pendiri negeri ketika mereka mengucapkan kata “merdeka”?
Luka dalam Keadilan
Keadilan di negeri ini sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kasus-kasus besar korupsi bisa berlarut, penuh permainan hukum, sementara pencuri kecil di pasar bisa langsung dipenjara tanpa ampun. Ketidakadilan bukan hanya dalam hukum, tapi juga dalam ekonomi. Kekayaan negeri ini melimpah—minyak, gas, batu bara, nikel, hutan, laut—tetapi hasilnya sering tidak kembali pada rakyat.
Ironisnya, istilah adil makmur lebih sering terdengar di pidato-pidato politik ketimbang terlihat nyata di kehidupan rakyat. Adil makmur menjadi jargon, bukan kenyataan. Harapan yang Tak Pernah Padam Namun di balik luka itu, harapan selalu tumbuh. Saya melihatnya dari wajah-wajah rakyat di kampung, di Cicadas, di Sumedang, di pasar-pasar kecil, hingga di jalanan ibu kota. Mereka yang hidup dengan sederhana, jujur, dan penuh perjuangan adalah bukti bahwa bangsa ini masih memiliki energi moral yang luar biasa. Adil makmur bukan sekadar soal angka pertumbuhan ekonomi.
Ia adalah tentang rasa adil yang menyentuh batin rakyat. Ia adalah tentang kemakmuran yang tidak hanya dimiliki segelintir orang, melainkan dirasakan bersama.
Jalan Menuju Adil Makmur Indonesia bisa mencapai cita-cita itu bila berani menegakkan tiga hal:
1. Kejujuran dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus bekerja, bukan hanya tampil. Pemimpin yang jujur akan menularkan kejujuran hingga ke bawah.
2. Hukum yang benar-benar adil. Tidak boleh lagi ada hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Keadilan hukum adalah pondasi keadilan sosial.
3. Pengelolaan kekayaan alam yang berpihak pada rakyat. Jangan gadaikan negeri ini hanya untuk investor asing atau elite lokal yang serakah.
Adil makmur bukan utopia, ia bisa diwujudkan bila bangsa ini mau kembali pada cita-cita asli: kejujuran, solidaritas, dan keberanian untuk menolak kompromi dengan ketidakadilan.
Refleksi untuk 2045 Indonesia akan memasuki usia 100 tahun pada 2045. Pertanyaannya: apakah di usia seabad itu kita masih akan berkata “adil makmur” hanya sebagai slogan?
Ataukah kita benar-benar akan hidup di negeri yang adil, makmur, dan beradab? Jawabannya ada di tangan kita hari ini.
Apa yang kita lakukan sekarang—dari cara kita bekerja, menulis, memimpin, hingga memilih jalan hidup—akan menentukan wajah Indonesia seratus tahun nanti. Saya percaya, bangsa ini masih punya peluang besar. Karena di balik semua kekelaman, selalu ada cahaya.
Kehidupan maasa lalu saya pernah mengajarkan saya, bahwa dari lorong sempit dan gelap, orang bisa tetap menyalakan pelita. Indonesia pun sama: dari luka-luka dijauhkan dan Indeonesia harus Adil Makmur. Tabik.