Pemimpin Bermarwah: Kuat untuk Rakyat, Jangan Suka Bela Koruptor
CATATAN dari Cilandak Aendra MEDITA*
PADA EDITORIAL JAKARTASATU: Pemimpin Itu Harus Jaga Marwah yang dimuat pada
Nah sebenarnya bangsa ini tidak sedang kekurangan orang pintar. Bukan pula kekurangan ahli strategi atau pejabat berijazah tinggi. Yang benar, bangsa ini sedang “kekurangan pemimpin” yang bermarwah — pemimpin yang berani menolak kebusukan, tidak takut berdiri di atas kejujuran, dan kuat untuk rakyat.
Kita sudah terlalu lama menyaksikan sandiwara politik di negeri ini. Janji demi janji bertebaran seperti daun gugur di musim kering — banyak, indah diucapkan, tapi membusuk ketika jatuh ke tanah. Di balik senyum para pejabat dan retorika moral yang dipoles media, sering kali tersembunyi wajah lain: wajah yang lembek terhadap korupsi, wajah yang membela teman, kolega, atau partai yang terjerat kasus, dengan alasan “hukum harus dikedepankan” padahal sebenarnya sedang diatur di belakang layar.
Pemimpin yang bermarwah tidak bisa hidup dalam kepura-puraan. Ia tidak bisa bersembunyi di balik dalih “prosedur hukum” ketika nuraninya tahu ada yang salah. Kita ingat Bung Hatta yang kuat akan sikap. Marwah tidak bisa dibeli dengan pencitraan atau proyek pembangunan. Marwah lahir dari keberanian — keberanian untuk menolak sesuatu yang kotor walau menguntungkan diri sendiri.
Pemimpin yang Kuat untuk Rakyat, Bukan untuk Kekuasaan
Menjadi pemimpin bukan berarti menjadi penguasa. Banyak yang keliru memahami ini. Jabatan sering dianggap singgasana kehormatan, padahal sejatinya adalah ladang ujian. Ujian apakah ia masih memegang janji kepada rakyat atau tergoda dengan kenikmatan kuasa.
Pemimpin yang kuat untuk rakyat adalah mereka yang tidak menunggu tekanan publik untuk bertindak benar. Ia tahu tanggung jawabnya sejak hari pertama menjabat. Ia tidak perlu disoraki dulu baru peduli, atau diserang dulu baru sadar.
Kekuatan itu bukan diukur dari seberapa banyak pasukan, partai, atau relawan yang mendukung, melainkan dari keteguhan hati ketika semua orang diam dan hanya dirinya yang bicara menentang kebusukan.
Sejarah bangsa ini pernah memiliki sosok-sosok seperti itu — pemimpin yang kuat karena marwahnya, bukan karena kursinya. Mereka tidak takut kehilangan jabatan demi mempertahankan kebenaran. Namun sayang, hari ini, pemimpin semacam itu semakin jarang. Kita lebih sering menemukan mereka yang pandai menjaga citra, tapi miskin integritas.
Marwah Kepemimpinan: Antara Simbol dan Moral
Kata marwah memiliki makna yang dalam. Ia bukan sekadar kehormatan yang melekat pada jabatan, tapi pancaran nilai moral yang menjadikan seorang pemimpin dihormati, bukan ditakuti. Marwah adalah keseimbangan antara kata dan tindakan, antara kekuasaan dan tanggung jawab.
Pemimpin bermarwah tidak memuja simbol kehormatan — mobil dinas, pengawalan, gelar, atau kursi empuk. Ia justru menjaga agar simbol-simbol itu tidak kehilangan maknanya. Karena simbol tanpa moral hanyalah topeng kosong.
Hari ini, banyak pejabat kehilangan marwah karena sibuk membela yang salah. Ketika ada koleganya ditangkap karena korupsi, mereka bergegas bicara: “Kita hormati proses hukum.” Padahal, jauh di balik kalimat itu, ada upaya melindungi. Ada pesan diam untuk jangan mengungkit terlalu dalam.
Bela koruptor bukan hanya dengan kata, tapi juga dengan diam. Ketika seorang pemimpin tahu bawahannya, saudaranya, atau koleganya mencuri uang rakyat tapi ia memilih bungkam — maka sesungguhnya ia sedang ikut menjadi bagian dari kejahatan itu.
Bangsa yang Dibius Korupsi
Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar tindakan kriminal ekonomi. Ia sudah menjadi penyakit sosial, mental, bahkan budaya. Orang tidak malu korupsi; mereka hanya malu tertangkap.
Ketika korupsi menjadi kebiasaan, pemimpin yang melindungi koruptor adalah perpanjangan tangan dari kebusukan itu. Ia tidak hanya mengkhianati rakyat, tetapi juga menghancurkan masa depan bangsa.
Uang yang dicuri dari kas negara bukan sekadar angka di laporan keuangan. Itu adalah hak anak sekolah yang tidak bisa belajar karena ruang kelasnya bocor. Itu adalah hak pasien yang meninggal karena puskesmas kekurangan obat. Itu adalah hak petani, nelayan, buruh, dan masyarakat kecil yang setiap hari berjuang untuk sesuap nasi.
Ketika seorang pemimpin membela koruptor, sebenarnya ia sedang menertawakan penderitaan rakyatnya sendiri.
Keadilan yang Dipermainkan
Salah satu tanda pemimpin kehilangan marwah adalah ketika hukum dijadikan alat politik. Kita sering melihat bagaimana kasus korupsi bisa tiba-tiba hilang dari sorotan, berganti dengan isu baru, atau bahkan disulap menjadi seolah-olah hanya “kesalahan administrasi”.
Inilah yang membuat rakyat muak. Rakyat sudah bosan mendengar jargon “good governance” yang hanya jadi hiasan laporan tahunan. Mereka tidak butuh pidato moral, mereka butuh tindakan nyata.
Hukum harus tajam ke atas dan ke bawah. Tapi yang terjadi sering kali sebaliknya — tajam ke rakyat kecil, tumpul ke elit berkuasa. Inilah ironi yang terus berulang, karena pemimpinnya tidak bermarwah.
Pemimpin bermarwah tidak akan membiarkan keadilan dipermainkan. Ia tahu bahwa keadilan bukan soal hukum semata, tapi soal moral. Hukum bisa disusun, direvisi, diatur; tapi moral tidak bisa dinegosiasikan.
Ketegasan sebagai Cermin Integritas
Ketegasan bukan berarti otoriter. Ketegasan justru lahir dari keberanian memegang prinsip. Pemimpin bermarwah harus tegas terhadap segala bentuk korupsi, sekecil apa pun itu.
Tidak ada alasan untuk menoleransi korupsi. Tidak ada istilah “baru pertama kali”, “jumlahnya kecil”, atau “karena terdesak kebutuhan partai”. Semua itu hanya alasan busuk untuk menutupi keserakahan.
Ketika seorang pemimpin menutup mata terhadap korupsi di sekitarnya, maka pada saat itu ia sedang kehilangan otoritas moral. Ia boleh punya kekuasaan, tapi tidak lagi punya kehormatan.
Pemimpin yang bermarwah tahu bahwa kepercayaan rakyat adalah aset yang tidak bisa dibeli. Sekali hilang, sulit kembali. Karena itu, menjaga kepercayaan publik harus lebih penting daripada menjaga nama baik kelompok atau partai.
Pemimpin yang Menolak Korupsi adalah Pemimpin yang Menolak Lemah
Menolak korupsi artinya menolak menjadi lemah. Banyak pemimpin takut menindak karena takut kehilangan dukungan politik. Tapi justru di situlah letak ujian kepemimpinan. Apakah ia berani berdiri di atas kebenaran meski sendirian?
Kekuatan sejati seorang pemimpin bukan diukur dari banyaknya orang yang memujanya, tapi dari keberanian menolak tekanan yang salah.
Bangsa yang besar tidak dibangun dari kompromi terhadap kejahatan. Ia dibangun dari kejujuran yang kadang menyakitkan, tapi menyembuhkan.
Kita Butuh Pemimpin Bermarwah, Bukan Pemimpin Peliharaan
Rakyat tidak butuh pemimpin peliharaan — yang hanya tahu tunduk pada kepentingan politik, partai, atau oligarki. Rakyat butuh pemimpin yang berdiri tegak dengan marwahnya sendiri.
Pemimpin peliharaan akan mudah diarahkan, mudah dibeli, mudah diatur. Ia hidup dari kepentingan orang lain. Tapi pemimpin bermarwah hidup dari keyakinan dan nilai. Ia sadar bahwa kekuasaan bukan hak milik, tapi amanah.
Seorang pemimpin sejati tidak akan takut kehilangan jabatan demi membela kejujuran. Karena ia tahu, jabatan datang dan pergi, tapi kehormatan adalah warisan abadi.
Kembali ke Nurani Bangsa
Kita harus kembali ke nurani bangsa. Bangsa ini dibangun di atas nilai-nilai kejujuran, gotong royong, dan integritas. Tapi nilai-nilai itu kini terkikis oleh kerak kerakusan.
Sudah saatnya rakyat kembali menuntut pemimpin yang bermarwah. Bukan dengan amarah, tapi dengan kesadaran. Rakyat harus berani menolak pemimpin yang membela koruptor, meski dengan seribu alasan politik.
Pemimpin yang kuat untuk rakyat adalah pemimpin yang tahu bahwa keberpihakan sejati tidak pernah salah arah — selalu berpihak kepada yang benar, bukan kepada yang berkuasa.
Marwah Tidak Bisa Disewa
Pada akhirnya, marwah bukan sesuatu yang bisa dipoles lewat media atau iklan. Marwah adalah hasil dari tindakan nyata yang konsisten.
Pemimpin bermarwah akan dikenang bukan karena pidatonya, tapi karena keberaniannya menolak hal-hal yang salah. Ia tidak akan membela koruptor karena tahu, uang haram itu meracuni keadilan, menghancurkan moral bangsa, dan membunuh masa depan generasi berikutnya.
Marwah adalah cermin jiwa. Dan jiwa bangsa ini hanya akan sehat jika para pemimpinnya berani menjaga cerminnya tetap bersih.
Kita butuh pemimpin yang kuat untuk rakyat, bukan kuat karena kekuasaan. Kita butuh pemimpin yang jujur, bukan yang lihai berkelit. Kita butuh pemimpin yang bermarwah — karena hanya dengan itu bangsa ini bisa benar-benar berdiri tegak di atas kehormatannya sendiri.
Jakarta, 11 Oktober 2025
*) Jurnalis dan Pemerhati Kebangsaan dan analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) dan anggota Jala Bhumi Kultura (JBK)
