25.6 C
Bandung
Sunday, November 9, 2025

Buy now

Demokrasi Kita Masih Hidup — Demokrasi kita belum mati, Tapi Mulai Sesak Napas

Demokrasi Kita Masih Hidup — Demokrasi kita belum mati, Tapi Mulai Sesak Napas

AENDRA MEDITA

Indonesia hari ini adalah negeri yang memelihara dua wajah. Di panggung, kita tampil sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia — dengan pemilu, presiden dipilih langsung, media bebas, dan rakyat bersuara di media sosial. Tetapi di belakang layar, kita diam-diam sedang berubah menjadi negara yang tak lagi merasa perlu diawasi, apalagi dikritik.

Apa demikian?

Demokrasi kita bukan sedang mati. Tidak. Ia masih berjalan. Ia masih berdetak. Tetapi nadinya melemah, oksigennya menipis, dan napasnya mulai tersengal.

Bung Karno pernah berkata dalam pidato terkenalnya tahun 1957: “Demokrasi bukan soal suara terbanyak, tetapi tentang keberanian mengoreksi kekuasaan.” Hari ini, keberanian itu mulai berkurang — bukan karena rakyat tidak mampu, tetapi karena sebagian kekuasaan merasa tak lagi perlu dikoreksi.

Lihatlah susunan politik kita hari ini. Koalisi pemerintah begitu gemuk hingga kursi oposisi tinggal ornamen. Semua partai ingin berada di dalam pemerintahan — bukan karena semua sepakat pada visi, melainkan karena takut tertinggal dari jatah. Demokrasi yang sehat butuh perbedaan, bukan barisan tunggal.

Tan Malaka pernah menulis dalam Madilog: “Musuh terbesar bangsa bukanlah penjajah yang tampak, tetapi pengkhianat yang bersembunyi di balik selimut kekuasaan.” Hari ini, kita tidak sedang dijajah asing, tetapi sedang dikepung oleh pragmatisme politik yang menyamar sebagai persatuan nasional.

Setiap kebijakan yang dikritik dijawab dengan kalimat sakti: “Ini demi stabilitas.” Seolah-olah kritik adalah bentuk makar, dan oposisi adalah gangguan pembangunan. Padahal stabilitas tanpa oposisi bukan stabilitas — itu pembiusan.

H Agus Salim mungkin akan tersenyum kecil sambil berkata, “Kalau semua orang masuk kandang kekuasaan, lalu siapa yang menggonggong bila maling masuk?”

Tokoh kita Sutan Sjahrir, manusia dingin dengan pikiran tajam, sudah mengingatkan sejak lama: “Politik massa yang hanya mengejar popularitas adalah bentuk penipuan intelektual.” Apa bedanya politik akal sehat dengan politik pencitraan? Sederhana. Politik akal sehat ingin membangun bangsa. Politik pencitraan ingin membangun pengikut.

Sayangnya, hari ini kita terlalu sibuk menghitung jumlah like, bukan kualitas argumen. Pemimpin lebih takut kehilangan elektabilitas daripada kehilangan integritas. Dan rakyat dibiarkan memilih bukan berdasarkan gagasan, melainkan berdasarkan siapa yang paling sering muncul di layar gawai.

Tapi yang lebih mencemaskan adalah munculnya kekuasaan yang tidak terlihat — shadow power. (memang ada?) Kita memang punya presiden yang sah. Tetapi di balik keputusan penting, rakyat bertanya-tanya: “Siapa yang benar-benar menentukan?”

Ada tokoh-tokoh yang tidak duduk di kursi resmi, tetapi namanya disebut dalam setiap keputusan besar. Ada figur-figur yang tak pernah tampil di podium karena sudah waktunya, tetapi suaranya bergema dalam langkah pemerintah. Dan akadang jadi viral tapi tak mutu. Mereka tidak dipilih rakyat, tetapi mereka ikut mengatur rakyat negeri ini.

Inilah bahaya demokrasi formal tanpa pengawasan substantif. Sjahrir menulis: “Tidak ada yang lebih berbahaya bagi negara selain penguasa yang merasa dirinya tak mungkin salah.” Dan shadow power adalah bentuk paling halus dari penguasa tak terlihat — kebal kritik, tapi ikut menentukan arah bangsa.

Namun jangan salah — rakyat Indonesia tidak bodoh. Mereka bisa sabar, tetapi bukan bebal. Mereka bisa diam, tetapi bukan tuli.

Lihat saja ketika undang-undang seenaknya dibentuk. Ketika kekuasaan terlalu cepat mengambil keputusan, rakyat turun ke jalan. Mahasiswa, buruh, aktivis, ibu-ibu pasar — semua bersuara tanpa menunggu komando partai. Karena oposisi hari ini bukan di DPR. Oposisi hari ini ada di jalanan dan di kolom komentar  media sosial.

Dan inilah yang membuat demokrasi kita belum mati.

Namun demokrasi tidak boleh hanya bertahan karena rakyat yang marah. Demokrasi harus berdiri di atas kesadaran intelektual dan moral.

Sjahrir mengajarkan kita untuk bersuara bukan hanya dengan emosi, tapi dengan akal sehat. Ia bukan orator berapi-api seperti Bung Karno. Ia menulis perlahan, merenung, lalu menampar kekuasaan dengan logika. Ia tidak menggugat dengan teriakan, tetapi dengan kalimat yang tak bisa dibantah.

Sementara H Agus Salim mengajarkan bahwa kritik tidak harus kasar. Ia bisa cerdas, bisa lucu, bisa halus — tetapi tetap mematikan.

Ketika pejabat Belanda memintanya berbicara dalam bahasa Belanda saja karena “lebih beradab”, Haji Agus Salim menjawab: “Tuan kira bahasa Belanda itu bahasa surga?”

Dan tatkala para pejabat sombong berkata bahwa mereka tidak takut kritik, ia berkata: “Ya, mereka tidak takut kritik — karena mereka lebih takut kehilangan jabatan.”

Maka apa yang harus kita lakukan agar demokrasi ini tidak putus napas?

Pertama, kita harus mengembalikan budaya malu dalam politik. Malu kalau hanya ikut arus. Malu kalau diam demi jabatan. Malu kalau rakyat sengsara, tapi pejabat pesta.

Haji Agus Salim pernah berkata: “Kalau engkau ingin dihormati seperti raja, bekerjalah seperti pelayan.”  Dan hari ini, sebagian pejabat ingin dihormati seperti raja, tetapi bekerja seperti tamu.

Kedua, kita harus mendidik diri untuk berpikir, bukan hanya bereaksi. Sjahrir menolak politik massa yang hanya berteriak tanpa substansi. Ia percaya bahwa demokrasi bukan tentang siapa paling keras berteriak, tapi siapa paling jernih berpikir.

Ketiga, kita harus menjaga keberanian bertanya. Karena demokrasi mati bukan ketika penguasa berbuat salah — tetapi ketika rakyat berhenti bertanya. Jangan pernah takut disebut “oposisi” hanya karena bertanya “kenapa?”

Namun setelah semua kritik ini, kita tidak boleh berhenti pada pesimisme. Karena bangsa ini terlalu besar untuk didefinisikan oleh kesalahannya saja.

Indonesia selalu punya cara menyembuhkan dirinya. Kita pernah dijajah tiga setengah abad tetapi tetap merdeka. Kita pernah jatuh dalam krisis ekonomi tetapi bisa bangkit. Kita pernah dihancurkan oleh konflik politik, tetapi bisa rukun kembali.

Demokrasi kita memang sedang sesak napas — tetapi masih hidup. Dan selama masih hidup, kita bisa selamatkan.

Dengan apa?

Dengan keberanian intelektual ala Sutan Sjahrir. Dengan kejernihan moral ala Mohammad Hatta. Dengan ketegasan retoris ala Bung Karno. Dan dengan ketajaman satir ala Haji Agus Salim.

Karena demokrasi bukan benda mati. Ia adalah makhluk hidup. Ia tidak hanya butuh pemilu, tetapi butuh oksigen berupa kritik. Butuh jantung berupa oposisi. Butuh tulang berupa konstitusi. Dan butuh otak berupa akal sehat rakyatnya.

Maka mari kita tutup tulisan ini dengan satu peringatan dan satu harapan.

Peringatannya sederhana:

Kalau kita terus membiarkan kekuasaan berjalan tanpa pengawasan, maka satu hari nanti demokrasi tidak akan dicuri oleh diktator — ia akan menyerahkan dirinya sendiri karena rakyatnya malas menjaganya.

Harapannya lebih sederhana lagi:

Selama masih ada satu mahasiswa yang berani bertanya, satu jurnalis yang berani menulis, satu ibu-ibu yang berani memprotes harga, satu netizen yang berani mengkritik dengan akal sehat — maka demokrasi Indonesia belum akan mati.

Ia hanya sedang pusing.

Ia hanya butuh udara.

Ia hanya menunggu kita membuka jendela.

Selebihnya — kita yang tentukan apakah ia akan kembali segar…

atau kita biarkan ia mati pelan-pelan dalam diam.

Baiknya tidak demikian. Demokrasi Kita Masih Hidup — Demokrasi kita belum mati, tapi kalau mulai sesak karena makin banyak (Piltuk) alias pilek batuk, saat ini ya itu perjalanan waktu yang terjadi. Tabik.

Aendra MEDITAJurnalis dan Pemerhati Kebangsaan dan Analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) dan anggota Jala Bhumi Kultura (JBK)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles