24.8 C
Bandung
Friday, November 14, 2025

Buy now

Berani Benar, Bukan Asal Serang: Menyelamatkan Bangsa dari Politik Adu Domba Gaya Baru

Berani Benar, Bukan Asal Serang: Menyelamatkan Bangsa dari Politik Adu Domba Gaya Baru

Dalam setiap masa perubahan, bangsa selalu dihadapkan pada dua pilihan: berani berbicara demi kebenaran atau diam dan membiarkan kebusukan merusak dari dalam. Indonesia kini sedang berada di persimpangan yang serupa. Di satu sisi, muncul generasi baru yang bekerja keras membangun negeri, berinovasi, dan menjaga integritas. Di sisi lain, ada gelombang serangan tak jelas arah yang menyelimuti ruang publik — serangan yang sering kali tak berlandaskan bukti, hanya mengandalkan persepsi, sentimen, atau kepentingan politik sesaat.
Fenomena ini bukan hal baru, namun bentuknya kini lebih canggih: politik adu domba model baru. Jika dulu adu domba dimainkan lewat propaganda klasik dan media cetak, kini ia menyusup lewat algoritma media sosial, potongan video singkat, dan opini yang sengaja dikaburkan. Tujuannya sama — memecah belah antara mereka yang bekerja dengan niat baik dan mereka yang dicurigai tanpa alasan jelas. Yang bekerja jujur justru diserang, dan yang menyerang tidak perlu bukti. Inilah bahaya yang mengancam fondasi kepercayaan publik terhadap negara dan sesama warga.
Adu Domba Model Baru: Serangan Tak Kasat Mata
Adu domba gaya lama menebar kebencian lewat fitnah terbuka; gaya baru justru lebih halus — lewat insinuasi, narasi setengah benar, atau framing media yang licik. Serangan datang dengan kalimat “katanya”, “bocoran sumber dalam”, atau “isu yang beredar”. Padahal, di balik itu, sering kali tidak ada bukti konkret. Akibatnya, orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh dianggap berseberangan, dan kritik yang sahih dicurigai sebagai makar.
Politik adu domba modern bekerja dengan dua bahan bakar: ketakutan dan kebingungan. Ketika masyarakat takut bicara, hanya mereka yang berani menuduh yang terdengar paling keras. Ketika masyarakat bingung membedakan fakta dan opini, kebenaran menjadi relatif. Inilah kondisi yang paling diinginkan oleh para pengadu domba — saat semua pihak saling curiga dan kehilangan orientasi terhadap kebenaran.
Diam Itu Bukan Netral
Dalam situasi seperti ini, sebagian orang memilih diam dengan alasan menjaga ketenangan. Namun diam di tengah ketidakadilan bukanlah kebijaksanaan; itu bentuk pembiaran. Diam justru memberi ruang bagi kebohongan tumbuh subur. Seperti luka kecil yang tidak diobati, kebusukan akan menjalar perlahan hingga merusak seluruh tubuh bangsa.
Karena itu, berani benar menjadi sikap moral yang tak bisa ditunda. Berani benar bukan berarti asal melawan, bukan pula menyerang tanpa bukti. Berani benar berarti berbicara dengan data, mengkritik dengan niat memperbaiki, dan menolak tunduk pada kebohongan. Ini adalah keberanian yang terukur — tidak destruktif, tapi korektif.
Kita membutuhkan keberanian jenis ini di setiap lini: di birokrasi, di media, di kampus, di ruang digital, dan di kehidupan sehari-hari. Keberanian untuk berkata, “Ini salah,” tanpa harus takut kehilangan posisi atau diserang balik oleh pasukan buzzer anonim.
Kebenaran Butuh Bukti, Bukan Kebisingan
Perlawanan terhadap adu domba bukan dilakukan dengan kebisingan yang sama, melainkan dengan ketelitian, bukti, dan komunikasi cerdas. Berani bukan berarti berteriak lebih keras; berani berarti berbicara lebih jernih.
Maka, setiap klaim harus diuji. Setiap tuduhan perlu diverifikasi. Kritik harus disertai solusi. Inilah yang membedakan keberanian sejati dari keberanian palsu. Orang yang benar-benar berani tidak takut diperiksa; justru ia membuka diri terhadap audit dan transparansi. Sebaliknya, mereka yang hanya berani menyerang tanpa dasar biasanya akan panik ketika diminta bukti.
Dalam ekosistem digital, tanggung jawab moral ini menjadi semakin penting. Setiap unggahan, komentar, dan “share” bisa menjadi bahan bakar untuk fitnah atau sebaliknya, menjadi sinar kebenaran. Karena itu, keberanian digital juga harus diiringi literasi digital — kemampuan memeriksa fakta, memverifikasi sumber, dan menahan diri dari emosi sesaat.
Membangun Ruang Publik yang Sehat
Untuk melawan adu domba, kita perlu membangun ruang publik yang sehat — ruang di mana perbedaan pandangan dihargai, bukan dijadikan alat permusuhan. Ruang publik yang sehat ditandai oleh tiga hal: transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Transparansi berarti membuka data dan proses pengambilan keputusan agar publik tidak terjebak rumor. Partisipasi berarti memberi ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara aman. Dan akuntabilitas berarti memastikan setiap tuduhan disertai bukti, serta setiap tindakan punya tanggung jawab.
Pemerintah, media, dan masyarakat sipil punya peran sama penting. Pemerintah harus jujur dan terbuka; media harus independen dan akurat; masyarakat harus kritis sekaligus beretika. Kolaborasi inilah yang dapat memutus rantai adu domba.
Etika dalam Keberanian
Keberanian tanpa etika hanya melahirkan kekacauan. Sebaliknya, etika tanpa keberanian melahirkan kemunafikan. Maka bangsa yang sehat adalah bangsa yang menyeimbangkan keduanya: berani dengan akal sehat, dan bijak dengan nurani.
Etika keberanian menuntut kita untuk berbicara dengan rasa hormat, tidak menyerang pribadi, dan tidak memanipulasi emosi publik. Kritik boleh tajam, tapi harus adil. Perlawanan boleh keras, tapi tetap beradab. Dengan cara itu, keberanian menjadi kekuatan moral, bukan alat kekuasaan baru.
Dari Reaksi ke Aksi
Kita tidak bisa terus bereaksi terhadap kebohongan; kita harus proaktif membangun budaya kejujuran. Setiap warga bisa memulai dari lingkar terkecil — tempat kerja, komunitas, bahkan keluarga. Dokumentasikan fakta, edukasi orang sekitar, dan gunakan media sosial untuk menyebarkan pengetahuan, bukan provokasi.
Lawan narasi adu domba dengan narasi persatuan berbasis kebenaran. Lawan ketakutan dengan keterbukaan. Dan lawan fitnah dengan bukti.
Harapan dan Peringatan
Bangsa ini tidak akan hancur karena musuh dari luar, tetapi karena warga yang memilih diam saat kebenaran diinjak. Oleh karena itu, jangan takut untuk berani benar. Karena diam di hadapan kebohongan adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan.
Namun, keberanian itu harus diarahkan dengan cerdas. Jangan sampai kita terjebak menjadi bagian dari kebisingan yang sama dengan yang kita lawan. Mari berani berbicara, tapi juga berani mendengar. Mari teguh melawan kebohongan, tapi juga rendah hati menerima koreksi.
Hanya dengan cara itu, kita bisa mengembalikan kepercayaan publik, memperkuat fondasi moral bangsa, dan memastikan bahwa keberanian kita hari ini tidak menimbulkan luka baru, tetapi menjadi cahaya penuntun bagi Indonesia yang lebih jujur, adil, dan bersatu.Tabik.(***)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles