24.8 C
Bandung
Friday, November 14, 2025

Buy now

Bayang-Bayang Ilusi di Istana Negara

Bayang-Bayang Ilusi di Istana Negara

Ketika kekuasaan kehilangan nurani, istana hanya menjadi panggung bayangan, dan rakyat menonton kebohongan yang diulang dengan wajah baru.

Oleh: M. Isa Ansori

Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo telah menorehkan sejarah yang penuh paradoks. Di satu sisi, ia menampilkan pembangunan fisik yang massif: jalan tol, bandara, dan kereta cepat. Namun di sisi lain, rakyat juga menyaksikan bagaimana politik pencitraan perlahan menggantikan makna kepemimpinan yang sejati. Janji tentang kemandirian nasional—seperti mobil Esemka—menghilang tanpa jejak. Proyek Whoosh yang dijanjikan membawa kemajuan justru meninggalkan tumpukan utang dan ironi ekonomi. Mesin pertanian yang diagungkan menekan pengusaha kecil, sementara janji menciptakan lapangan kerja jutaan orang justru berubah menjadi barisan statistik yang tak pernah menjawab kenyataan di pasar tenaga kerja.

Kini, ketika tampuk kekuasaan beralih ke Presiden ke-8, Prabowo Subianto, bayangan itu belum sirna. Malah, seperti pantulan matahari senja di tembok istana, ilusi itu makin panjang. Para menteri berbicara seolah nabi data dan teknologi; ada yang mengklaim bahwa kecerdasan buatan akan menciptakan 90 juta lapangan kerja, padahal jutaan buruh masih kehilangan pekerjaan karena otomatisasi dan kebijakan tanpa arah. Yang lain mengemas narasi pembangunan dengan kata “investasi”, meski rakyat tahu siapa yang paling diuntungkan.

Kekuasaan kini seperti cermin bengkok, memantulkan wajah indah yang hanya bisa dilihat dari dalam istana. Sementara di luar pagar, rakyat menatap bayangan kekuasaan yang kian menjauh dari kenyataan hidup mereka.

Kekuasaan dan Tradisi Ilusi

Kekuasaan, dalam sejarah manusia, selalu memiliki daya magis. Ia bisa memikat, menenangkan, sekaligus menipu. Filsafat Jawa menggambarkannya sebagai wahyu keprabon—sebuah cahaya suci yang hanya akan turun kepada mereka yang benar dan adil. Namun ketika wahyu itu disalahgunakan untuk memperkuat gengsi pribadi, maka kekuasaan berubah menjadi ilusi ilahiyah palsu—seolah mendapat restu langit, padahal sekadar hasil dari rekayasa bumi.

Istana, dalam simbolisme Nusantara, semestinya adalah pusat kesadaran spiritual bangsa. Tempat raja atau pemimpin menautkan diri pada nilai-nilai Ilahi dan menebarkannya ke rakyat. Namun kini, istana berubah menjadi panggung sandiwara citra. Kebohongan dirias dengan bahasa pembangunan, kesalahan dibungkus dengan istilah politik kompromi; dan kegagalan disulap menjadi prestasi lewat angka dan algoritma.

Kita tidak lagi hidup di zaman ketika kekuasaan diperoleh lewat keberanian menegakkan kebenaran. Kini, kekuasaan diraih lewat kemampuan menciptakan persepsi. Yang menguasai narasi, menguasai negara.

Politik Tanpa Nurani

Ketika politik kehilangan nurani, maka kejujuran hanya menjadi hiasan pidato. Kekuasaan seperti ini menciptakan realitas semu—rakyat percaya bukan karena bukti, tapi karena terus disuguhi bayangan yang menenangkan. Dan selama bayangan itu masih bergerak, rakyat dibiarkan percaya bahwa cahaya masih ada.

Namun bayangan, seindah apa pun, selalu bergantung pada sumber cahaya.
Ketika sumbernya palsu, bayangan pun menipu. Begitu pula kekuasaan,  tanpa nilai moral dan spiritual, seluruh kebesarannya hanya pantulan dari ambisi manusia yang fana.

Di sinilah letak tragedi politik Indonesia modern. Kita membangun banyak hal yang megah—tetapi kehilangan sesuatu yang paling sederhana,  kejujuran. Kita memuja pemimpin yang pandai berjanji, tapi melupakan bahwa kebenaran tidak bisa diwakili oleh retorika.
Kita menepuk tangan untuk pencapaian ekonomi, sementara ketimpangan dan penderitaan tetap menebal di sudut-sudut kota dan desa.

Menemukan Nur di Tengah Kekuasaan

Dalam pandangan spiritual, kekuasaan adalah amanah Tuhan yang datang bersama tanggung jawab moral. Ia bukan hak milik, melainkan pinjaman sementara yang akan dipertanggungjawabkan. Ketika manusia merasa berkuasa atas segalanya, ia sebenarnya sedang berjalan menuju kehancuran batin.

Filosofi eling lan waspada dalam tradisi Jawa mengajarkan agar pemimpin selalu sadar pada asal dan tujuan kekuasaannya. Eling bahwa ia hanya bayangan dari kehendak Ilahi. Waspada agar tidak terperangkap dalam kesombongan duniawi. Sebab, sebagaimana bayangan tak pernah bisa menggantikan cahaya, demikian pula kekuasaan tak pernah bisa menggantikan kebenaran.

Refleksi ini penting diulang, pemimpin sejati bukan yang paling sering muncul di layar televisi, tetapi yang paling tenang menanggung beban rakyatnya. Bukan yang paling pandai berbicara, tetapi yang paling jujur mendengar. Bukan yang paling berkuasa, tetapi yang paling mampu menahan diri agar kekuasaan tidak menjadi berhala.

Mencari Jalan Pulang ke Nurani

“Bayang-Bayang Ilusi di Istana Negara” bukan sekadar kritik atas rezim tertentu. Ia adalah peringatan bahwa setiap kekuasaan tanpa nilai Ilahi akan kehilangan arah moralnya.
Negara yang dibangun di atas kebohongan akan terus tumbuh, tetapi tanpa jiwa. Dan bangsa yang terbiasa menonton kebohongan akan kehilangan kemampuan untuk percaya pada kebenaran.

Maka, sebelum bangsa ini sepenuhnya tenggelam dalam ilusi, kita perlu menyalakan kembali cahaya nurani—mulai dari hati setiap warga, lalu dari sanalah lahir pemimpin yang tidak lagi hidup dalam bayangan, tetapi dalam terang kebenaran.

Karena sejatinya, tidak ada bayangan yang bertahan lama di bawah cahaya Tuhan. Yang fana adalah citra, yang abadi adalah kejujuran.

Surabaya, 30 Oktober 2025

M. Isa Ansori
Penulis, Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim dan pengamat sosial-politik.
Aktif menulis refleksi tentang kekuasaan, moralitas publik, dan spiritualitas politik.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles