Upacara “mapag panganten” adalah salah satu tradisi masyarakat sunda yang umumnya dilakukan seteleh ijab kabul, dimana sepasang pengantin disambut dan diarak layaknya seorang raja/atau ratu yang hendak memasuki singgasana / pelaminan, sehingga muncul istilah bahwa pengantin adalah laksana Raja dan Ratu sehari.
Ini sebuah Sebuah Sudut Pandang (Tidak ada yang salah, Cuma Prihatin) Menyoal bergesernya makna upacara adat prosesi “mapag panganten” Iringan gending ‘kebo jiro’ dalam aransemen komplit gamelan degung terasa begitu sakral mana kala pandangan mata disuguhkan pemandangan indah barisan penari tabur bunga, umbul-umbul, pemegang payung sudah membentuk formasi menyambut kehadiran sepasang pengantin, yang dipandu oleh satu tokoh penting sekaligus pengatur laku dalam sebuah pertunjukan yaitu Lengser.
Upacara “mapag panganten” akan jadi suasana penuh haru dan hidmat karena memang rangkain kegiatan dibuat sedemikian agung. Waktu terus berjalan, jaman pun bergeser. Lengser tidak lagi menjadi tokoh abdi dalem yang bijak dan penuh wibawa namun rengkuh menunduk di hadapan raja, penari tidak lagi memunculkan keindahan gerak nan gemulai sebagai tanda ajrih (hormat). Kini semua berorientasi pada pertunjukan untuk hiburan semata.
Bahkan kini muncul tokoh baru pendamping Lengser yaitu Ambu, dimana perannya kebanyakan dimainkan oleh laki-laki, ber-make up nenek-nenek, yang tujuannya agar muncul tokoh kocak. Hening berubah menjadi gelak tawa, hidmat berubah menjadi sorak sorai. Ukuran kesukssannya tergantung pada dua tokoh (lengser dan ambu) karena memang mereka diplot untuk membuat kelucuan.
Iringan musik pun tidak lagi berbasis pada musik tradisi. Atas fenomena ini jadi teringat dengan sebuah bait lagu yang populer karya Alm. Mang Koko yang kira-kira rumpakanya seperti ini; “kesenian miwanda kreasi anyar, mindeng kamalinaan kuma ceuk ramena pasar……dst.”
Ini artinya pergeseran itu sudah terjadi dari masa ke masa seiring ‘ramena pasar’. Hanya saja dulu terjadi penambahan alat untuk memperkuat harmoni lagu, baik yang sama-sama berbasis tradisi maupun alat musik modern, tetapi porsi tradisi masih mendominasi. Sedangkan sekarang fungsi-fungsi alat tradisi beralih wujud menjadi alat musik modern bahkan digital.
Pergeseran seni tradisi akibat tuntutan pasar sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun dahulu, “penyesuaian” dengan zaman tetap menjaga dominasi nilai tradisional. Penambahan alat musik modern hanya memperkaya harmoni, bukan menggeser substansi. Sekarang, justru alat-alat tradisi ditinggalkan. Bahkan digantikan sepenuhnya oleh musik digital. Kini seniman berada di persimpangan: mempertahankan esensi tradisi, atau mengikuti arus pasar demi orderan dan viralitas. Sungguh, seni tradisi itu tidak pernah ketinggalan zaman. Kitalah yang justru meninggalkannya.
Kita asyik menikmati perubahan zaman, tetapi lupa mengajak seni tradisi ikut dalam perjalanan. Kita biarkan ia tertinggal, terengah di belakang, tanpa daya. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Hanya sebuah sudut pandang dari hati yang prihatin. Bukan melarang kreasi, tetapi mengajak merenung: jangan sampai kita kehilangan makna karena terlalu sibuk mengejar tepuk tangan. Cag!!!***
*)pelaku seni dan aktivis tradisi SUNDA.