25.9 C
Bandung
Wednesday, September 10, 2025

Buy now

Algoritma dan Cara Kritis Bangsa, Sebuah Reflektif–Personal

Algoritma dan Cara Kritis Bangsa, Sebuah Reflektif–Personal

Catatan dari Cilandak : Aendra Medita*)
Ada perkembangan saat ini yang tak bisa dibendung. Inilah yang namanya Algoritma dan Cara Kritis yang Tumpul
Saya sering merenung: betapa berubahnya lanskap media kita dalam satu dekade terakhir. Dulu, ketika masih bergulat dengan dunia pers cetak dan televisi, saya percaya redaksi adalah benteng terakhir kebenaran.
Redaktur memutuskan apa yang layak naik halaman satu, apa yang harus ditahan, dan apa yang tidak boleh diterbitkan. Kini, benteng itu runtuh oleh kekuatan tak kasat mata: algoritma.
Yang menentukan isi kepala kita bukan lagi redaktur yang penuh pengalaman, melainkan mesin dingin yang hanya tahu ‘engagement.’ Apa yang banyak diklik, dibagikan, atau diperdebatkan, itulah yang muncul.
Begitu sederhananya. Dan karena sederhana, jadinya berbahaya. Saya kerap melihat, berita investigasi yang seharusnya menggemparkan tenggelam di linimasa, kalah oleh video viral selebritas atau kisah kocak sehari-hari. Apa yang penting bagi bangsa ini, sering kalah dari apa yang menyenangkan buat algoritma.
Di sini saya merasa, cara kritis bangsa kita ikut berubah. Kritik tidak lagi berakar pada analisis panjang, tetapi pada reaksi instan. Orang marah karena headline, bukan isi berita. Orang membagikan meme sebagai bentuk protes, padahal isunya jauh lebih kompleks. Kita berisik, tetapi sering tumpul.
Media mainstream pun tidak selalu lebih baik. Alih-alih melawan arus, mereka justru ikut mengejar klik. Saya sedih membaca banyak media besar kini hanya menyalin atawa “mengutip” dari medsos. Padahal dulu, media arus utama punya kelas karena analisisnya, kedalamannya. Namun saya percaya, tidak semuanya hilang.
Masih ada jurnalis yang berjuang dengan integritas. Masih ada ruang bagi tulisan opini atau kolom panjang untuk didengar, meski harus berkompetisi dengan meme lima detik. Tantangannya adalah bagaimana kita—baik jurnalis maupun pembaca—berani melawan kenyamanan algoritma?
Kritik sejati memang tidak populer. Analisa sering tidak viral. Tetapi bangsa ini tidak bisa terus-menerus dibesarkan oleh sensasi. Kita butuh kembali ke tradisi berpikir panjang, berdebat sehat, menghargai data. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi penonton yang bersorak di panggung algoritma, tanpa pernah sungguh-sungguh mengerti lakon yang dimainkan.
Saya menulis ini bukan untuk mengutuk zaman. Algoritma punya sisi baik: ia membuka ruang demokrasi, memberi suara pada yang tak terdengar. Bahkan peristiwa kemarin demo-demo 25 Agustus sampai awal Sepetember ini ini lari melihat livenya medsos. Tapi jika dibiarkan, ia juga bisa membutakan. Karena itu, kita harus belajar menaklukkan algoritma, bukan sekadar menjadi korbannya dan membendungnya. Dan itu dimulai dari diri kita sendiri: membaca lebih dalam, tidak cepat bereaksi, berani mempertanyakan. Itulah cara kritis yang sejati. Tanpa itu, bangsa ini akan kehilangan tajamnya pikiran, hanya tersisa keramaian kosong yang viral sebentar lalu hilang. Lalu ada yang baru lagi.
*)Seorang Jurnalis, dan analis Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles